Wednesday, May 23, 2007

PERNIK LIPUTAN OLAHRAGA (3)

Bagian Ketiga

PERNIK ATAS
Wartawan Indonesia penuh dengan lika-liku dinamis dalam mengarungi profesinya, baik wartawan umum maupun yang khusus meliput olahraga. Kreativitas, kualitas, keberanian mengekspresikan diri wartawan selalu membawanya ke percaturan jenjang profesi baik secar vertikal maupun horisontal.
Namun tak kalah banyaknya wartawan yang monoton, sampai tua di lapangan dan sakit-sakitan lagi, tentu saja karena kualitasnya yang monoton tadi, sehingga menimbulkan keprihatinan berkepanjangan bagi rekan-rekannya yang lain.
Apakah medianya tidak menunjang jenjang karirnya? Saya rasa tidak juga, karena kalau kualitasnya memadai dibanding dengan rata-rata rekan lainnya, maka ia bisa saja beralih ke media lain yang lebih memberikan fasilitas atau menjanjikan masa depan.
Bab mengenai Pernik Atas ini lebih banyak menyoroti jenjang kewartawanan, sebagai konsekuensi logis keberadaan wartawan sebagai profesi yang mengalami “penerusan” (follow up) baik secara vertikal maupun horisontal, baik secara struktural maupun fungsional.
Peralihan kerja wartawan dari satu media ke media lain kerap terjadi. Di satu sisi ada yang menyebutkan mereka sebagai “kutu loncat” tetapi di sisi lain itulah tanda adanya keinginan menomorduakan kemapanan, menunjukkan adanya sifat dinamis, dengan catatan terjadinya pergeseran derajat secara horisontal maupun vertikal.

A. PERGESERAN VERTIKAL DAN HORISONTAL
Pergeseran rekan wartawan yang dulu sama-sama meliput olahraga di lapangan, kini ada yang menjadi pengelola beberapa penerbitan. Ini tidak terlepas dari kemampuannya baik secara teknis maupun kekuatan melobi dan memelihara kepercayaan sumber berita.
Contoh yang bisa dilihat hingga sekarang adalah Mahfuddin Nigara. Ia menekuni liputan olahraga pertama kali di majalah Olympic, kemudian membantu liputan olahraga Kompas, pindah ke tabloid bola, kemudian mendirikan tabloid khusus olahraga Gema Olahraga (GO).
Kemudian niatnya yang kuat ditopang ambisi yang besar dan adanya dukungan dana, kiprahnya semakin berkembang, sehingga akhirnya “membeli” Harian Sinar Pagi dan Berita Buana. Masih sempat-sempatnya ia sebagai komentator tetap tinju internasional di televisi swasta Indonesia.
Dukungan dana dari Grup Bakri saat itu membuat berkiprahnya di dunia media massa semakin berkembang. Pada munas PWI Pusat di Semarang, ia terpilih pula sebagai wakil sekjen PWI Pusat periode 1989-2003.
Yang membuat Mahfuddin Nigara patut diacungi jempol, di media massa yang dikelolanya itu, ia tidak saja bertindak selaku manajer untuk mengelola secara umum, tetapi juga masih ikut menulis di kolom-kolom khusus namun belakangan ini aktivitasnya lebih banyak di tabloid Gema Olahraga.
Atal. S Depari dari Suara Karya, diajaknya bekerja sama di Gema Olahraga, kemudian diajaknya pula sebagai Pelaksana harian Pimpinan Redaksi di Harian Sinar Pagi. Namun beberapa lama kemudian, entah apa yang terjadi, Atal mendirikan Tablod Umum Dinamika, kini juga memenej bidang umum dan redaksional ketika Dinamika tumbang, Atal bersama rekannya Riang Panjaitan dari Sinar Pagi menerbitkan Harian Berita Kota.
Pada awalnya banyak rekan yang menyangsikan kepiawaian Nigara dan Atal di bidang media umum, karena latar belakang mereka belasan tahun hanya meliput olahraga.
Tapi kenyataannya, media yang mereka tangani mampu mengimbangi media umum lainnya, malah di beberapa segi terasa “lebih tajam” dalam membedah permasalahan dan kasus krisis politik yang terjadi di negara ini. Hal ini juga sebenarnya membuktikan adanya kerja tim yang erat dalam menerbitkan media massa.
Keberanian rakan Atal ini pun perlu diamati, karena konon ia bersama rekannya sempat menjual rumah untuk modal mendirikan media, yang kini amat mudah mengurusi SIUPP-nya itu. Entah siapa pula yang berdiri di belakang layar sebagai pemodal mereka, karena dalam beberapa penerbitan awalnya belum kelihatan iklan yang merupakan salah satu penunjang keberadaan media massa.
Dari sisi kejiwaan, yang pasti Atal sedang mencari “kepuasan batin” seperti daikatakannya dalam kolom Dinamika, bahwa mereka menemukan kebebasan kendati kerja rangkap di beberapa bidang. Konon sebanyak 27 orang karyawan Sinar Pagi eksodus ke Dinamika.
Pergeseran kerja secara horisontal dan vertikal ini benyak dialami rekan wartawan. Ign. Sunito, wartawan olahraga Kompas, menjadi wakil pimpinan umum/ pimpinan perusahaan di tabloi BOLA, Sam Lantang dari Berita Yuda jadi wartawan BOLA dan kini menjadi manajer pusat informasi olahraga (PINO) BOLA, Valens Doy dari peliput olahraga KOMPAS sempat jadi semacam direktur penerbitan khusus Gramedia, Sumohadi Marsis dari Berita Yuda jadi pimpinan redaksi BOLA.
Albert Kuhon dari Kompas pindah ke Suara Pembaruan dan kini memegang salah satu jabatan eksekutif di Liputan 6 SCTV, Budiarto Shambazi dengan latar belakang hubungan internasional sempat di olahraga Kompas dan kembali ke olahraga, Suryopratomo dengan latar belakang pertanian sempat jadi pimpinan meja sunting olahraga Kompas kemudian jadi wakil redaksi pelaksana malah kini jadi pimpinan redaksi, Hendry CH Bangun dengan latar belakang Sastra Indonesia meliput olahraga Kompas dan kini jadi salah seorang pelaksana eksekutif di Warta Kota yang juga grup Gramedia. Sulaiman Ros dan Berto Riyadi meliput olahraga belasan tahun pernah dialihkan pada liputan politik/ hukum Jawa Pos. bahkan rekan Berto menjadi salah satu pelaksana eksekutif di koran baru Grup Jawa POS, Radar Bogor.
Sedangkan Sugeng Indarto sebagai kepala meja olahraga Pos Kota sempat dialihkan ke bagian produksi (percetakan), Rudy Novrianto dengan gelar insinyur menangani olahraga Tempo (lama) dan kini Gatra.
Istiqoma, dari menangani olahraga di Sportif, pindah ke Media Indonesia dan kini sebagai pimpina redaksi majalah Mobil Motor (MM), Endi Supriatna dari otomotif beralih ke majalah Mobil pimpinan Tinton Soeprapto dan pindah lagi ke “otogenic.com”. Linda Wahyudi dari BOLA pindah ke RCTI, Tomy Yosrifal dari olahraga ANTARA beralih ke AnTeve, Dedi Reva dari Pelita pindah ke jenjang eksekutif bidang olahragaAnTeve, Yon Moeis dari Jayakarta ke “Mobil online.Com” dan pindah lagi ke Koran TEMPO, dan Prayan Purba dari olahraga SINAR PAGI jadi Redaktur Pelaksana.
Pergeseran secara vertikal dan horisontal dalam kerja media massa merupakan hal yang lumrah. Untuk itu, kualitas personal wartawan harus menjasi pegangan utama, artinya wartawan harus memiliki semangat dan kemauan untukk belajar terus. Sarjana yang baru menyelesaikan kuliah, dengan masuknya ke bidang media massa, berarti memulai lagi “studi” khusus dan ia akan menjadu pendatang baru (new comer), yang kinerjanya akan diuji dalam perjalanan waktu.
Wartawan juga dituntut untuk mempelajari atau mengerti tentang manajemen, karena semakin tinggi kualitas si wartawan, semakin terbuka kemungkinan ia akan ditantang untuk menapak ke jenjang yang lebih tinggi sehingga butuh pengetahuan tentang cara memenej serta memiliki jiwa kepemimpinan (leadership).
Tetapi pada kenyataannya, banyak terjadi, wartawan yang sudah belasan tahun di lapangan, tidak suka jika “ditarik” ke dalam untuk duduk di belakang meja kendari diberi jabatan khusus. Hal seperti ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, sehingga tidak mengherankan bila kita menemui wartawan meliput di lapangan dengan usia yang sudah “senja”.
Profesi wartawan termasuk bidang yang unik. Kalau profesi dokter harus didahului dengan pendidikan kedokteran, jadi perawat didahului sekolah perawat, jadi arsitek didahului sekolah di bidang arsitek, jadi pilot harus melewati pendidikan khusus dan beberapa bidang lainnya. Namun untuk jadi wartwan dari disiplin manapun bisa. Jadi tidak harus melewati pendidikna khusus mengenai jurnalistik, cukup media yang menerimanya mendidik selama beberapa bulan.
Sebaliknya, untuk menekuni profesi wartawan, tidak dapat pula tanpa melalui jenjang pendidikan formal seperti SD, SMU dan Perguruan Tinggi, bahkan dewasa ini ijazah S-1 merupakan persyaratan mutlak.

B. BATU LONCATAN
Bagi wartawan di mana pun posnya, termasuk olahraga, jika ditekuni dengan serius sembari terus mengembangkan wawasan, profesinya itu dapat sekaligus sebagai “batu loncatan” untuk menapak ke bidang tertentu.
Jika bertahan pada media yang sama, si wartawan suatu saat jika menunjukkan kualitas tinggi, akan mengalami peningkatan karir secara vertikal struktural dan karena kemampuannya mengekspresikan diri akan mengalami jenjang peningkatan horisontal baik pada bidang yang sama maupun secara organisatoris, bahkan ke jenjang eksekutif dan legislatif.
Contohnya adalah para pengurus PWI daerah dan PWI Pusat, yang mungkin dengan target tertentu akhirnya menapak menjadi anggota MPR/ DPR, seperti Sofyan Lubis (Pos Kota), Parni Hadi (perbah di ANTARA/ Republika/ ADIL/ dll), Marcel Beding (=alm Kompas), Tarman Azzam (Terbit), Chrys Kelana (dari Kompas pindah ke RCTI) dan beberapa lainnya.
Para wartawan senior yang sempat berkiprah ke jenjang yang lebih tinggi adalah BM Diah pernah menjadi Dubes, Sabam Siagian dari Jakarta Post jadi Dubes di Australia, Harmoko dari Pos Kota jadi ketua PWI Pusat dan ketua DPP Golkar serta ketua MPR/ DPR, Jaffar Aassegaf dari ANTARA jadi Dubes di Vietnam dan kini di Media Indonesia dan Metro TV.
Pada tingkatan tertentu, wartawan olahraga yang menekuni bidang tertentu, umumnya menjadi “perpanjangan tangan” induk organisasi yang bersangkutan dan ditunjuk sebagai Humas, bahkan sampai ke tingkat KONI. Sam Lantang, misalnya dari BOLA menjadi Humas KONI DKI Jaya, Max Sopacua dan TVRI pernah duduk di jajaran Humas KONI Pusat bersama Zuhri Husen yang pernah menjadi wartawan salah satu majalah.
Wartawan pun, karena kredibilitasnya di bidang tulis menulis dan selalu unggul dalam hal mengumpulkan bahan materi informasi, selalu diminta menangani penerbitan khusus, misalnya majalah intern perusahaan atau induk organisasi olahraga.
Selama tidak mengacu pada prinsip mencari keuntungan (nonprofit) dan tidak mengganggu jam kerja kantor, pimpinan kantor di mana si wartawan bekerja biasanya tidak melarang, bahkan mendukungnya karena si wartawan diharapkan akan semakin kreatif dan lebih unggul dalam melobi sumber berita atau mencari berita atau menggali berita yang dibutuhkan kantornya.
Karena ketekunan si wartawan dalam mengikuti perkembangan salah satu cabang yang diminatinya, maka banyak wartawan olahraga yang menjadi komentator di televisi, seperti komentator sepakbola Liga Eropa, komentator bola basket, komentator perlombaan Formula 1 atau sepeda motor Grand Prix dunia, bulu tangkis dan lain sebagainya.
Bahkan dari menulis berita, kemudian mengulas dan sebagai komentator, ada yang menjadi pengurus cabang yang bersangkutan atau menjadi manajer tim bila atlet bertanding ke luar negeri seperti yang terjadi pada Benny Mailili (tenis).
Christianus Liem dari meliput catur di majalah Sportif, malah dipercayai menjadi pengelola sekolah catur Guna Dharma dan kini menjadi pengamat catur, sementara Brata Triyana yang pernah di meja sunting olahraga ANTARA beralih total menjadi staf eksekutif bidang kehumasan Coca Cola kemudian beralih lagi ke perusahaan lain. Beberapa rekan koresponden surat kabar daerah yang ada di Jakarta, selain meliput olahraga, juga meliput bidang lain bahkan ada yang merangkap mencari iklan.

Masih sedikit
Melihat sepintas kerja seorang wartawan, baik di bidang umum apalagi olahraga, masih inginkah Anda jadi wartawan olahraga?
Menjadi wartawan ini ada yang memang sudah bakat dan memang ingin jadi wartawan, tapi ada juga karena melamar kerja akibat belum diterima di tempat lain. Selama beberapa waktu, para senior di kantor tempat si wartawan baru bekerja, biasanya dapat melihat kinerja dan kemampuan calon wartawan yang baru direkrut itu. Ada yang berkembang terus, tapi ada pula yang terasa sudah “mentok”.
Kalau di Ibu kota, wartawan olahraga umumnya tugasnya hanya meliput olahraga, demikian pula di beberapa kota besar yang frekuensi kegiatan olahraganya banyak, seperti di Medan, Surabaya dan Semarang. Tapi di daerah tertentu, peliput olahraganya adalah juga peliput bidang lain.
Dengan demikian, wartawan olahraga di Indonesia sebenarnya masih dapat dihitung karena jumlahnya amat kecil. Kalau diadakan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas), banyak media yang menurunkan atletnya tapi sebenarnya bukan wartawan olahraga, tapi dari bidang-bidang lain.
Jangankan untuk peliput khusus olahraga, untuk semua bidang pun, wartawan Indonesia dibanding dengan rakyat yang mencapai 206 juta jiwa, masih amat sedikit. Yang terdaftar di PWI Pusat, masih belum mencapai puluhan ribu orang. Dengan terbitnya ratusan media massa setelah dipermudah mendapatkan SIUPP, tampaknya jumlah wartawan pun masih tetap dikategorikan sedikit sekali, padahal tugasnya sebagai agen informasi amat dibutuhkan di negara besar ini.
Sedangkan tabloid yang khusus olahraga pun dapat dihitung dengan jari, yang ada baru BOLA, Gema Olahraga dan yang khusus memuat berita otomotif yaitu OTOMOTIF, Motor Plus, Otosport, sedangkan majalah olahraga adalah Mobil Motor, Mobil Indonesia, Motor, dan Auto Sport (sudah mati). Belakangan ini beberapa majalah khusus terbit, seperti Liga Inggris, Liga Italia F1.
Sedangkan Tribun olahraga (Jakarta), Raket (Jakarta), Kompetisi (Surabaya), kini tidak lagi terbit. Belasan tabloid yang belakangan ini terbit hanya berupa media umum dengan menitikberatkan pada pemberitaan politik, mungkin karena masalah politik lagi hangat di Tanah Air.
Padahal media massa khusus olahraga pun sebaiknya diperbanyak, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat berolahraga, terbukti dengan banyaknya penonton jika ada pertandingan olahrag di Tanah Air. Dan olahragapun merupakan “jiwa” bangsa, sebagai pembentuk karakter dan membawa gengsi negara ke luar negeri.
Jika asumsi itu tidak perlu diargumentasikan lagi, maka wartawan olahraga pun adalah merupakan pilar kecil pembentuk “jiwa” bangsa dan turut mempengaruhi gelombang gengsi negara di mata dunia, apalagi Menpora sudah dilikuidasi pada kabinet kedua Presiden Gus Dur.

Pernik wartawan senior
- Dalam kapasitas penampilan dan kreatif dicari untuk mengelola penerbitan atau bahkan untuk membuat penerbitan sendiri.
- Pada tingkat tertentu menjadi pemimpin di medianya.
- Selalu menjadi batu loncatan ke jenjang lain secara horisontal, misalnya, jadi Dubes, anggota dewan, anggota parpol dan tokoh organisasi, atau bahkan jadi pengusaha.
- Wartawan pada dasarnya tidak mengenal istilah pensiun.
- Berkarya terus kapan saja dan di mana saja.

No comments: