Wednesday, May 23, 2007

PERNIK LIPUTAN OLAHRAGA (2)

Bagian Kedua

PERNIK MENENGAH

Pembicaraan kita pada bagian Pernik Menengah ini, bukan berarti bab ini merupakan jenjang dari pembicaraan pada Pernik Dasar, karena menurut saya pada beberapa bagian masalahnya saling berkaitan, bahkan ada yang merupakan kesatuan hakiki yang pada ghalibnya tidak baik dipisahkan.
Kalau pada pembicaraan terdahulu saya lebih banyak memusatkan perhatian pada profesi kewartawanan secara kepribadian atau internal, maka pada bagian kedua akan dibahas sebagian unsur keterkaitannya kepada unsur luar atau secara eksternal.
Profesi wartawan, seperti halnya guru, dokter, perawat pada prinsipnya adalah sama, kendati tidak berhubungan langsung dengan orang, melainkan lewat mediator, yaitu media massa. Namun bahan mentah yang akan dikomunikasikan atau diinformasikan, selalu dan umumnya berkaitan dengan orang langsung sebagai sumber berita atau penyebab terjadinya fakta.
Ada teman saya seorang dokter mengatakan, pekerjaan sebagai wartawan enak, karena tidak berhubungan langsung dengan orang secara fisik. Kalau pemikiran dokter itu berhubungan langsung secara fisik dengan orang (sakit) memang benar, karena secara faktual wartawan memang masih membawa hasil pertemuannya ke kantor untuk diolah atau diaktualisasikan dalam bentuk berita atau secara audio-visual.
Tapi bahan mentah yang dibawa ke kantor, adalah juga hasil pertemuan dengan orang langsuung secara fisik, dengan menghasilkan bentuk pemikiran, pernyataan, tindakan, perbuatan atau fakta lain hasil perbuatan atau efek tindakan lainnya.

A. PSIKOLOGI TERAPAN
Psikologi terapan yang menjadi salah satu disiplin ilmu di bidang psikologi, bagi wartawan yang tidak mempelajarinya dengan khusus, umumnya mereka merasakan langsung aplikasi (terapan) di lapangan karena banyaknya bertemu dengan sumber berita yang sifatnya beragam macam.
Jika mampu mengamati dan “merasakan” langsung, pada wawancara pertama, wartawan umumnya sudah dapat memahami unsur kejiwaan sumber berita.
Jika wartawan khusus ke kantor sumber berita, ada kalanya si tokoh sendiri yang membuka pintu kantornya ketika sekretarisnya memberi tahu kedatangan kita. Ada yang menyuruh tunggu di ruangan khusus dan ada pula yang diantar sekretaris ke ruangan dalam sementara si tokoh yang ada sedang sibuk atau “pura-pura” sibuk mencatat atau membenahi kertas dan map yang berserakan di mejanya.
Melihat gelagat kejiwaan si tokoh saat kita masuk ruangannya, wartawan yang berpengalaman biasanya langsung mengetahui kemauain si tokoh. ada yang menginginkan bicara basa-basi atau “mengorek-ngorek” masalah umum yang belum jelas diketahuinya.
“Wartawan biasanya kan banyak tahu. Apa yang kamu ketahui tentang…,” katanya menanyakan sesuatu, tidak peduli apakah yang dihadapinya wartawan olahraga atau peliput lainnya. Pokoknya wartawan dianggap sebagai orang yang serba tahu (omnicient people).
Kalau situasi begini, biasanya ia punya banyak waktu untuk ngomong-ngomong dan wartawan bisa mengalihkan pembicaraan “ngalor-ngidul”. Namun ada juga yang langsung bertanya, “Kamu mau nanya apa…,” atau …” Ada perlu apa..”.
Begitu wartawan mengeluarkan pulpen dan buku catatan atau menyiapkan alat rekam, si tokoh biasanya mulai bicara resmi dan hati-hati.
Tokoh yang sudah kenal dengan wartawan, jika bertemu di satu tempat, apalagi di tempat resmi, ada pula yang pura-pura tidak melihat atau tidak kenal, sehingga si wartawan harus mengingatkan jika ada kesempatan dekat atau ingin bicara dengannya. Ada pula yang memang menunggu si wartawan menegut pertama kali tetapi ada juga yang tersenyum atau menyapa duluan.
Wartawan yang sudah kenal baik dengan sumber berita, umumnya tidak lagi ada basa-basi dan akan salinh menyapa di manapun bertemu. Si wartawan sudah mengetehui jiwa si tokoh “luar dala” dan si tokoh pun sudah paham tentang si wartawan.
Ada pula tokoh atau sumber berita yang menganggap wartawan sudah sebagai temannya. Saat Boy Bolang jaya-jayanya sebagai promotor tinju pro awal tahun ’80 –an, suatu saat lewat di depan kantor SIWO PWI Jaya (waktu di Lapangan Tembak) dan dari jendela sembari tertawa melemparkan uang Rp 1.000.000,-. “Bagi-bagi, ya..,” katanya, “Saya lagi ada rejeki.”
Namun Boy Bolang pula yang sempat menangis ketika wartawan olahraga “memboikot” pemberitaan acara tinju yang akan digelarnya (Ellyas Piacal), karena susahnya wartawan menyaksikan latihan Pical di Sasana Tidar ketika akan mempertahankan gelar IBF.
Wartawan harus tahu kapan ia mendatangi sumber berita atau kapan ia menghubungi (sekarang bisa dihubungi lewat HP), mulai dari atlet, pelatih, manajer tim, pengamat dan ketua organisasinya, tentu saja pada awalnya sudah pernah bertemu secara langsung dan memahami “takaran” kejiwaannnya secara psikologis.
Jangan heran, ada juga tokoh yang terkadang tidak mau dihubungi wartawan lewat telepon. Ada kalanya kita mendengar suaranya mengatakan pada sekretarisnya, “Katakan saya lagi tidk ada.”
Pemahaman unsur kejiwaan secara psikologi terapan ini amat berhubungan dengan “disiplin jaga jarak” seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, karena praktek kesetaraan atau kemitraan antara sumber berita dan wartawan terkadang harus “saling menundukkan” dalam prakteknya.

B. KLIK DAN KELOMPOK
Klik dan kelompok dalam dunia wartawan olahraga selalu ada dan hal ini terjadi dua arah, bisa karena ulah si wartawan dan ada kalanya diciptakan si sumber berita, namun ada pula yang ditunjuk media masing-masing.
Ada sumber berita yang menginginkan pemberitaan di media tertentu dan ia meminta temannya dari media dari media tertentu untuk membawa wartawan dari media yang diinginkannya agar melakukan wawancara dengannya.
Ada pula sekelompok wartawan dari media tertentu membentuk kelompok tersendiri, ada yang membaur dengan wartawan lainnya dan berkelompok jika ada acara. Tetapi ada pula yang mengisolasi diri sehingga pada pertengahan tahun 90-an ada kelompok wartawan PSSI, ada kelompok KONI, ada kelompok “KODEL” (kelompok delapan), kelompok kanseleri, ada kelompok Interfed, dan yang lainnya.
Pernah pula runyam ketika kelompok peliput sepakbola pun terbagi manjadi beberapa bagian. Ada kelompok si A, ada kelompok si B (biasanya beritanya saling counter anatara tokoh atau kelompok tokoh satu dengan tokoh lainnya).
Entah pimpinan di kantor tahu entah tidak, jaman dulu ada pula kelompok ini yang dipersiapkan dengan telepon genggam (HP) dan uang sejumlah tetentu diberikan berkala. Belakangan ini saya dengar kelompok-kelompok khusus ini sudah tidak ada lagi, karena kembali menyatu dalam kelompok PSSI.
Sebelumnya, banyak orang mengatakan, berita-berita sepakbola di Tanah Air lebih seru di luar lapangan (tokoh dan organisasinya) ketimbang permainan atletnya. Mungkin juga ini disebabkan, kurang bagusnya prestasi persepakbolaan di Tanah Air, atau situasi “medan liputan” memang memaksa demikian. Contohnya kasus suap pemain, suap wasit dan yang lainnya.
Kelompok-kelompok tertentu itu ada pula yang dibentuk dengan tidak sengaja oleh kantor masing-masing, karena pimpinan maja sunting olahraga menyalurkan mereka untuk liputan khusus seperti atletik, otomotif, tinju dan sebagainya sehingga orang-orangnya di lapangan menyatu membentuk kelompok khusus.
Di antara kelompok-kelompok itu ada yang netral alias independen, meliput berbagai cabang dan terkesan “semrawut” karena minimnya peliput di lapangan sedangkan pada waktu tertentu acara olahraga banyak. Namun untuk liputan-liputan khusus, misalnya wawancara yang diprogramkan, si wartawan netral itu akan tertingggal karena kekurangan informasi akibat tidak diajak kelompok tertentu.
Terjadinya kelompok-kelompok ini, di satu sisi amat merugikan karena terjadi proses penetrasi idealisme, sebab si wartawan tidak lagi berada di tengah sebagai “polisi olahraga”, melainkan sudah berpihak sehingga titik kerunyaman dikhawatirkan terakumulasi akan “membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar”.
Namun di sisi lain, manakala bobot liputan sudah terarah dan si wartawan mampu mengakomodasikan diri mengacu pada teknis liputan, maka ia akan semakin mendalami bidang liputannya baik secara teknis maupun nonteknis.
Pimpinan meja sunting olahraga yang jeli dan berpengalaman di lapangan, biasanya mampu membca situasi di lapangan kendati tidak harus hadir. Dari membaca berita yang dibawa ai wartawan ia akan tahu kemana arah pemberitaannya dan si beberapa media tertentu biasanya si wartawan yang di lapangan akan di-“rolling” jika dipandang sudah terlalu kelewatan kedekatannya pada kelompok tokoh tertentu.
Jika kelompok itu berbau kelompok pada cabang tertentu dengan menomorduakan kedekatan pada tokohnya, akan membawa keberuntungan pada wartawan yang tugas di lapangan dan hal itu akan dirasakan sekali menfaatnya jika ada pesta olahraga multieven ataupun olahraga sejenis yang berskala internasional.
Wartawan yang biasa meliput atletik, tidak akan dikirim meliput sepakbola piala dunia, sebaliknya yang biasa meliput sepakbola tidak dikirim meliput Kejuaraaan Atletik Asia atau dunia dan yang biasa meliput otomotif akan runyam jika dikirim meliput kejuaraan bulu tangkis, kecuali jika ia sudah terbiasa meliputnya di Tanah Air.

C. SPESIALISASI
Pengelompokan wartawan olahraga pada cabang tertentu, jangan selalu diartikan negatif, karena pada sisi positifnya, jika si wartawan ingin maju, ia akan berusaha mempertebal pengetahuannya dari segi taknis.
Pada harian atau majalah umum, pengelompokan wartawan ini belum begitu terasa kendati dari isi tulisan mereka setiap hari kelihatan kecondongannya pada jenis olahraga tertentu.
Namun pada tabloid seperti BOLA, Gema Olahraga dan Otomotif, para wartawannya semakin menjurus bahkan redakturnya pun sudah terbagi menjadi redaktur umum, redaktur otomotif, sepakbola luar negeri, sepakbola dalam negeri, bola basket dan yang lainnya.
Bahkan media yang lebih khusus lagi seperti Otomotif, ada redaktur dan peliput khusus, untuk jenis olahraga nasional dan luar negeri, redaktur teknis, redaktur liputan khusus (umum) dan yang lainnya.
Redaktur atau peliput khusus wartawan yang ditempatkan di bagian manapun, tidak harus ahli (ezpert) karena banyak yang latar belakang pendidikannya tidak mengenai hal yang diliputnya, namun ia harus mengetahui seluk beluk jenis liputannya baik secara teknis maupun nonteknis.
Benny Mailili, mantan wartawan yang kini sebagai pengamat teknis, pada awalnya bukanlah atlet tenis, Arief Kurniawan (wartawan otomotif dari BOLA) yang kini sebagai komentator F1 dan GP 500 latar belakang pendidikannya dari IAIN Jakarat, Mahfuddin Nigara (wartawan GO) komentator tinju dan sepakbola di Indosiar, Hendry CH Bangun (Kompas, kini Warta Kota), Ian Situmorang (BOLA) komemtator bulu tangkis, bukanlah atlet dari keduaa jenis yang dikomentariya itu, demikian pula dengan puluhan komentator Piala Dunia 1998 dan Liga Eropa yang kerap kita saksikan di televisi itu.
Yang menarik, komentar mereka tidak jauh berbeda dengan komentator para ahli dan mantan atlet, seperti Syamsul Anwar Harahap dan Boy Bolanr (tinju), Ronny Pattinasarany, Edi Sofyan, Abdul Kadir, Bambang Nurdiansyah, Sinyo Aliandoe (sepakbola), Imelda Gunawan, Icuk Sugiarto, Ivanna Lie (bulu tangkis) maupun Chandra Alim, Didi Hardianto, Rio Sarwono dan Indrajit Sardjono (otomotif).
Kelebihan mantan atlet itu, mereka pernah merasakannya sehingga unsur pengalaman mampu diuraikan mereka dan bagi pemirsa memang terasa lebih “afdol” mendengarkan uraian para mantan atlet itu , kendati sistematis uraian para wartawan lebih menguasainya secara retorika.
Spesialisasi bagi wartawan olahraga di Indonesia belum terwujud di semua media massa, namun untuk media tertentu termasuk tabloid khusus olahraga hal itu sudah kelihatan.
Bagi media Barat, spesialisasi liputan olahraga sudah lama terwujud, sehinggga bila ada liputan internasional tidak heran jika kita bertemu dengan peliput yang itu-itu juga bahkan banyak yang sudah berusia senja.
Di cabang otomotif dengan beragam jenisnya, peliputnya pun khusus pula. Lain peliput Formula 1, lain pula peliput motocross, lain pula peliput sepeda motor Grand Prix, lain peliput reli mobil, bahkan peliput motocross 500 CC, 250 CC dan 125 CC pun peliputnya berbeda.
Di Indonesia, liputan olahraga internasional disesuaikan pimpinan meja sunting di media masing-masing dengan “pasar”, sehingga umumnya wartawan meliput acara olahraga ke luar negeri khusus untuk cabang prioritas seperti sepakbola, tinju, bulu tangkis dan tenis, di samping yang bersifat multieven seperti Olimpiade, Asian Games dan SEA Games, itupun bagi media yang mampu.
Jika cabang prioritas itu tidak ada di media, umumnya pembaca akan bertanya sedangkan jika cabang lain tidak ada pembaca jarang mempertanyakannya, ini yang saya maksud dengan penyesuaian pasar.
Untuk cabang prioritas, si wartawan akan datang sendiri mencari informasi sampai mengurus ID Card untuk liputan, namun untuk cabang tertentu yang ingin hasil pertandingan/ perlombaan disiarkan di media massa, harus mengundang wartawan dan menyiapkan segala sesuatunya untuk kepentingan si wartawan.
Contohnya, jika ada liputan olahraga otomotif di Sirkuit Sentul, maka panitia menyiapkan bus di kawasan Senayan (di depan IMI Pusat) yang akan menjemput dan mengantar wartawan, namun ada juga yang datang dengan kendaraan sendiri dan umumnya di undang.
Sedangkan lomba otomotif di luar kota, panitia akan mengundang wartawan dan menyiapkan transport, hotel akomodasi dan uang sakunya.

D. ANGGARAN TRANSPORTASI
Anggaran atau dana “tranportasi” ini selalu jadi pembicaraan runyam, bukan saja di dalam liputan olahraga, tetapi juga di bidang-bidang lain.
Anggaran “transportasi” atau uang saku biasa disediakan si pengundang jjka si wartawan diajak meliput ke luar kota atau ke luar negeri dan media besar pun akan menerimanya secara resmi.
Uang saku itu, bisa lebih kecil bisa pula lebih besar dari yang diterima wartawan dari kantor masing-masing jika ditugaskan meliput ke luar kota atau ke luar negeri. Bila si pengundang dalam undangannya menyebut akan menanggung semua kebutuhan si wartawan, maka si wartawan biasanya tidak lagi mendapatkan anggaran untuk “board & lodging” dari kantor.
Namun ada lagi yang namanya “anggaran transportasi” dalam bentuk amplop untuk acara-acara jumpa pers atau liputan pertandingan/ perlombaan, yang kerap pula dihadiri wartawan “bodreks” yang biasa pula disebut “WTS” (wartawan tanpa surat kabar), kendati anehnya terkadang ada yang memiliki surat tugas resmi.
Jumpa pers untuk pertandingan cabang prioritas pun, seperti sepak bola, tinju, bulu tangkis dan tenis, baik berskala nasional maupun internasional yang diadakan di Tanah Air, panitia umumnya menyiapkan “amplop”, tapi ada juga yang tidak. Sedang untuk liputannya, panitia biasanya tidak lagi menyiapkan uang transpor, tetapi ada juga yang menyiapkannya.
Sumber berita tertentu, ada pula yang “tersinggung” jika ada wartawan yang menolak pemberian uang transpor itu, karena dana itu sudah dianggarkan sebagai solidaritas kerja sama dengan media massa yang amat dibutuhkannya agar masyarakat mengetahui acaranya.
Tentang “amplop” ini kerap jadi masalah. Ada panitia yang menyiapkan “amplop” untuk sejumlah media yang diundang namun wartawan yang datang melebihi yang diperhitungkan, sehingga beberapa kali terpaksa yanf tidak diundang hanya mendapat cindera mata.
Wartawan dari media tertentu yang tidak diundang, ada yang “berang” dan mempertanyakan mengapa ia tidak diundang, karena ia butuh berita dan minta agar tidak ada diskriminasi, namun “amplop” kosong tetap pula dipertanyakan kendati sebagian ada yang mendiamkannya.
Tapi sebaliknya, ada wartawan dari media tertentu yang diundang hanya mengambil cindera mata dan mengembalikan “amplop”. Hal seperti ini dianggap lumrah, baik dalam temu pers maupun dalam liputan pertandingan/ perlombaan di lapangan. Rekan-rekan wartawan sendiri pun biasanya sudah mahfum, mana rekannya yang mencari berita dan mana yang mencari “amplop” dan mana pula yang mengatakan: “ada syukur” tidak ada “ya tidak apa-apa.”
Masalah “amplop” jenis yang begini, dari dahulu menjadi perdebatan “terselubung” baik bagi PWI meupun masing-masing, tidak hanya di olahraga tapi di segala pos, ada yang membenarkan secara tidak langsung tetapi ada pula yang dengan keras melarangnya bahkan ada yang dengan sanksi pemecatan.
Sebagian pimpinan madia massa, ada yang “menyamarkan” masalah ini, dengan menyebutkan, “Jangan mencari amplop di lapangan, tetapi jika ada yang memberi sejauh tidak mempengaruhi tulisan, ya terserah.” Masalah amplop ini merupakan masalah yang riskan, apalagi cara menjelaskannya pada wartawannya yang menerima amplop dalam jumpa pers atau liputan.
Masalah ini memang kembali berpulang pada media masing-masing dan kepada pribadi si wartawan. Madia menengah hingga yang kecil dengan sengaja menggaji kecil si wartawan, tentu tidak dapat berbuat banyak, sedangkan oknum wartawan dari media besar yang menerima “amplop” tentu berperang dengan nuraninya.
Ada pula media besar yang menerima “amplop” karena merasa sungkan untuk tidak menerima di depan teman-temannya. Biasany “amplop” itu diberikan kepada “bos”nya di kantor untuk dikembalikan kepada panitia pemberi atau dimasukkan ke kas yayasan yang ada di media bersangkutan.
Tentang “amplop” ini pernah diulas salah satu media massa Ibu kota, yang melalui pelacakan investigasi menuliskan besarnya nilai “amplop” dari satu departemen ke departemen lainnya.
Diungkapkan pula, asal muasal “amplop” itu datangnya dari pihak sumber berita (departemen) yang hingga kini masih ada dan ini biasanya ada kaitannya dengan biro Humas atau personil yang mengeluarkan dana, karena ada juga mengambil keuntungan dari situ.
Jika si menteri bepergian keluar kota atau mengajak wartawan, biasanya uang saku itu ditentukan berdasar “SPJ” (surat perintah jalan).
Salah seorang rekan aetengah bercanda pernah mengatakan ia mengumpulkan “amplop” perolehannya selama setahun dengan menuliskan nilai isinya di pojok amplop. Entah berapa dus amplop yang didapatnya dan entah berapa nilainya. Dan apakah ia dapat disebut “wartawan amplop”? Wallahua’lam bissowaab, namanya saja “take and giveI.” Tetapi biasanya uang amplop itu disebut rekan-rekan “uang panas” dan dalam sesaat habis pula.
Dalam liputan-liputan olah raga diluar negeri,,tidak pernah ada panitia yang memberikan dana amplop, kecuali semacam suvenir, misalnya kaos dan pulpen. Ada ikatan- ikatan tartentu antara penyelenggara pertandingan dengan organisasi semacam SIWO , namun tidak ada pemberian uang di lapangan , keccuali jika wartawan diajak meliput ke luar negeri.
Di salah satu negara , pernah sekelompok wartawan merasa heran, ketika salah seorang tokoh olah raga Indonesia memberikan uang setelah wawancara, dalam bentuk dolar lagi. Sempat malu juga ketika ada yang bertanya, “Apakah di Indonesia setiap wawancara dikasih uang?” Terhadap pertanyaan seperti ini, pintar-pintarlah menjawabnya.
Malah seorang tokoh asing dari perusahaan tertentu yang datang ke Indonesia untuk menyeponsori salah satu pertandingan, sempat terheran-heran kepada panitia ketika dalam anggaran tercantum sektor dana unruk wartawan itu. Ia mengangguk-angguk ketika disebutkan itu hanya untuk mengganti bahan bakar kendaraan meraka yang datang meliput.
Terkadang, dalam situasi tertentu, tentang amplop ini dianggap wajar. Contohnya, jika ada acara perlombaan yang dianggap media bukan cabang prioritas, tidak ada beritanya pun pembaca tidak akan bertanya, tetapi si empunya acara ingin beritanya ingin dimuat, maka mau tak mau amplop harus disiapkan terlebih bila acara itu “berbau promosi”. Si wartawan pun selalu agak enggan karena rekan atau bosnya di kantor membaui berita itu ada “isinya”.

E. KEPERCAYAAN SUMBER BERITA
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup prang tidak percaya. Pepatah itu tampaknya tidak lekang si panas dan tak luntur di hujan jika dikaitkan dengan masalah apapun, selagi hayat di kandung badan.
Demikian pula halnya dengan profesi wartawan. Jika “track record” si wartawan sekali saja “tercoreng” maka akan selamanya diingat orang dan setiap tindakannya yang baik pun selalu dikait-kaitkan dengan masa lalunya yang pernah dicap negatif.
Kepercayaan sumber berita harus tetaap dijaga dan dipelihara wartawan. Kepercayaan sumber berita dalam hal ini, berkaitan dengan materi pemberitaaan dan kejadian peristiwa, baik menyangkut si sumber berita atau personal lain yang menyangkut etika.
Bukan maksud saya mau membongkar-bongkar kasus atau peristiwa lama, namun peristiwa ini pernah terjadi dan semoga tidak terulang lagi di masa ini dan di masa mendatang.
Ketika wartawan olahraga di satu tempat akan menyelenggarakan pemilihan atlet terbaik dari berbagai cabang, ada seorang tokoh menawarkan sejumlah uang agar ia terpilih sebagai atlet terbaik si cabang yang ditekuninya. Setelah ia terpilih, terbongkar pula permasalahannya, bahwa sejumlah wartawan telah kena “sogok” dan si antara wartawan itu masih ada yang bekerja di salah satu media hingga kini.
Permasalahan yang menyangkut moral ini jadi pembicaraan di kalangan pers dan sumber berita yang mengetahuinya, telebih dari cabang di mana si atlet terpilih sebagai yang terbaik.
Sumber berita lainnya, tidak percaya lagi pada beberapa wartawan yang terlibat dalam masalah itu dan hal itu menimbulkan preseden yang tetap diingat dalam setiap pemilihan “yang terbaik”, karena akibat nilai setitik, rusak susu sebelanga.
Dewasa ini, sistem pemilihan tokoh dan atlet terbaik itu diubah, dengan cara mengambil suara tertulis dari tiap media, berdasarkan pengamatan masing-masing dengan kriteria yang ditentukan,
Untuk menumbuhkan kepercayaan sumber berita pada si wartawna, membutuhkan waktu yang cukup lama, baik dari kalangan tokoh, pengurus olahraga ataupun atletnya.
Biasanya, kualitas wartawan pun menentukan. Semakin bermutu tulisan atau analisis si wartawan, semakin diakui ia di kalangan cabang yang ditekuninya maupun dari kalangan rekan-rekannya seprofesi.
Membina dan menjaga kepercayaan sumber berita ini, ada kaitannya secara lengsung dan tidak langsung dengan masalah “disiplin-sopan jaga jarak” yang sebelumnya sudah saya tuliskan pada bab terdahulu. Komitmen moral terhadap diri sendiri, dalam arti apakah akan terus menekuni profesi wartawan, agar nama tidak tercoreng, merupakan pegangan hidup bagi wartawan.
Komitmen moral dalam berita-berita olahraga, juga selalu dikaitkan dengan dengan masa depan si atlet. Misalnya, jika si atlet kalah dalam satu pertandingan, tiak semestinya ia “dihajat” habis-habisan sehingga si atlet secara moral akan “jatuh” padahal masa depan prestasinya sebenarnya masih dapat diperbaiki.
Petenis Yayuk Basuki pernah berang dengan wartawan, karena ada yang menuliskannya ia kalah dalam satu pertandingan di luar negeri karena ibunya sedang sakit di Yogyakarta.
“Keluarga saya di Yogya marah-marah pada saya membaca berita itu. Padahal saya tida ada mengatakan hal itu pada wartawan,” kata Yayuk beberapa tahun yang lalu.
Wartawan olahraga, seperti selalu dikatakan Ketua Umum KONI Pusat Wismoyo Arismunandar, adalah juga salah satu tiang penyangga olahraga Indonesia, sebagai pembina atlet dari segi moral.
“Jadi wartawan olahraga tidak asal serang. Tapi harus mampu menunjukkan di mana kelemahan si atlet atau organisasi dan berusaha memberi jalan perbaikannya menuju jenjang prestasi yang kita inginkan. Harus kita ingat, kemajuan olahraga nasional adalah juga menunjukkan kekuatan bangsa dan negara di mata internasional,” kata Wismoyo.
“Bahkan seorang atlet pun bisa jadi duta bangsa di luar negeri. Dunia luar akan melihat, masih ada atlet Indonesia yang mampu berprestasi tinggi di masa krisis yang berkepanjangan di Tanah Air,” kata Wismoyo ketika menerima pembalap Formula 3 Ananda Mikola bersama orang tuanya, Tinton Soeprapto, di kantonya, awal November 1998.
Bahkan pada tahun 1999, Ananda mendapat piagam sebagai Duta Pariwisata dari pemerintah melalui Menteri Pariwisata Seni dan Budaya Marzuki Usman, karena peranan yang cukup aktif mengenalkan Indonesia di luar negeri.”


Pada tingkat menengah wartawan akan mengalami :
- Cepat menganalisa kejiwaan sumber berita (secara tidak langsung mempelajari psikologi terapan.
- Mampu membidangi suatu masalah, bisa karena biasa.
- Secara tidak langsung larut dalam kelompok. Bisa dalam arti negatif atau posiyif. Negatif, karena bersekongkol dengan sumber berita. Positif, paham akan bidangnya dan akan dicari sumber berita.
- Dihadapkan pada komitmen moral tentang “amplop”.
- Akan terus jadi wartawan? Jagalah kepercayaan sumber berita.
(BERSAMBUNG)

No comments: