Friday, August 7, 2009

RELI BORNEO, MOTIVASI DAN DEBUT "ROOKIE" Oleh A.R. Loebis

Jakarta, 5/8 (ANTARA) - Dari 12 lintasan khusus (SS=special stage) yang dilahap 17 peserta pada Reli Borneo 2009 di Kalimantan Timur, 1-2 Agustus lalu, hanya satu SS yang terlepas dari duet gado-gado Cody Crocker dan Sean Gelael, selebihnya didominasi mereka sebagai pereli tercepat.
Itu pun karena pada SS3 kemudi mobil beralih ke tangan Sean, sedangkan Cody memandu di sebelahnya (navigator) tetapi pada SS6 yang juga ditembus Sean, pemuda berusia 12 tahun itu tetap tampil tercepat, seperti yang dilakukan Cody pada sembilan SS lainnya.

Fantastis! Cody sebagai juara Asia Pasifik (APRC) 2006-2007-2008 tidak dapat menutupi kekagetannya dan mengucapkan kata itu ketika menyentuh batas akhir (finish) di service area di lapangan Bukit Indah, Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), sekitar 86 km baratlaut Kota Balikpapan.

Reli putaran pertama musim 2009 itu seharusnya berlangsung sepanjang 166 km, namun diperpendek menjadi 131 km karena beberapa SS menjadi lalu-lintas kendaraan perkebunan yang sedang melakukan panen raya agar produksi mereka tidak terganggu.
Duet Cody (Australia) dan Sean (KFC-Serge Indonesia) yang menggeber Subaru Imprezza WRX menyelesaikan 11 SS itu dengan waktu satu jam 16 menit 16 detik, terpaut dua menit 10,10 detik dengan Subhan Aksa/Hade Mboi (Mitsubishi Evolution IX) yang berada di urutan kedua dengan waktu 1:18.26, 10.

Kalau Cody dan Sean membungkus kemenangan setelah tampil tercepat dalam 10 SS, maka Subhan Aksa dari tim Bosowa Pertamina yang mengikrarkan niat menggaet dua gelar tahun ini (speed rally dan sprint rally), tampil tercepat kedua pada tujuh SS. Pada hari pertama, Subhan yang beberapa kali tampil dalam kejuaraan dunia reli, tampil sebagai pereli tercepat kedua pada dua SS dan pada hari kedua tercepat kedua pada lima SS di kawasan perkebunan akasia itu.

Rizal yang menggeber Subaru Imprezza WRX Sti yang sebelumnya dinaiki juara nasional 2008 Rifat Sungkar, berada di urutan ketiga, setelah pada SS 1 hingga SS11 berada pada posisi 2-4-4-2-3-2-3-3-3-3-3. Kejutan yang dibuat Rizal, mampu melesat dalam kecepatan tinggi pada lintasan dengan karakter ?high speed? itu, padahal navigatornya Anthony Sarwono masuk rumah sakit sehari sebelumnya karena terkena demam berdarah. Manajernya Indra Prasetyo berubah status menjadi navigator.

?Saya sedikit meraba-raba karena Indra tidak begitu lancar membaca pace-note yang dibuat Anthony,? kata Rizal, yang seperti Subhan sedang mengejar gelar nasional untuk pertama kalinya. Rizal yang pernah juara Malaysia, ingin menempati posisi kakaknya Rifat yang menyandang hatrik juara nasional 2005-2007-2008. Ricardo Gelael adalah juara nasional 2006.
Roy Nirwan, mantan ketua umum Pengprov IMI Kaltim yang menaiki Subaru Imprezza yang dibelinya dari Ricardo Gelael, dengan sigap bertahan di urutan keempat sejak SS1 hingga SS11 sedangkan Ricardo Gelael (Subaru Imprezza) yang pada Leg 1 berada pada posisi keenam, keesokan harinya pada akhir Leg 2 menggeser posisi Sadikin Aksa yang menaiki Mitsubishi Evolution X baru.

Kalau Ricardo mengatakan kendaraannya mengalami kerusakan turbo sejak SS1, Sadikin mantan ketua umum IMI Sulsel, menyebutkan ia memang tidak memiliki target, karena tampil hanya ingin menjajal Evo X baru. ?Mobil itu kencang sekali tetapi masih ada beberapa komponen yang harus disetting. Mungkin harus turun dalam dua atau tiga.reli lagi baru diperoleh setting yang tepat,? ungkap Ikin, panggilan akbar Sadikin yang juga abang kandung Subhan atau Ubang.

Sedangkan Roy berujar, mobil Subaru yang dikendarainya, baru pertama dijajalnya dan ia merasakan kecanggihan mobil yang dibangun khusus untuk perlombaan reli itu.?Secara keseluruhan saya anggap reli ini berhasil, baik bagi saya sebagai pereli maupun sebagai penyelenggara bersama promotor BMI,? ujar Roy.


Motivasi dan debut
Rizal yang pernah tampil sebagai juara nasional Malaysia, mengatakan ingin menggantikan posisi kakaknya Rifat sebagai juara nasional musim ini, namun Subhan pun ingin membukukan gelar pertama yang sama dalam catatan rekornya kelak.
?Saya ingin menggantikan kakak saya sebagai juara nasional,? kata Rizal sebelum berlomba sedangkan Ubang malam sebelum melakukan start keesokan harinya menyebutkan, kalau tahun lalu ia tampil sebagai juara kedua nasional maka tahun ini ingin mengawinkan gelar juara speed rally dan sprint rally.
Ubang mendekati targetnya, karena Cody yang menjuarai Reli Borneo tidak mendapat poin sehingga angka pertama nasional dari putaran pertama itu disabet Ubang sedangkan navigator Hade Mboi di posisi kedua, karena Sean berhak atas poin tertinggi klasemen sementara nasional.
Kalau Rizal dan Ubang memiliki motivasi tinggi untuk menjuarai reli nasional musim ini, maka Sean yang baru memasuki usia 13 tahun membuat debut mengejutkan, karena juara navigator nasional 2008 itu menggantikan Cody di balik kemudi pada SS3 dan SS6.

Ia kalah cepat 20 detik dari Ubang pada SS3 di perkebunan Trunen A-1 sepanjang 8,42km dan berada pada posisi kedua tetapi pada SS6 di Trunen A-2 kebalikan SS sebelumnya, Sean tampil tercepat dengan waktu 5:8.80 dan Rizal di urutan kedua (5:9.20) dan Ubang di tangga ketiga (5:10.20).
Sean sebagai pemain ?rookie? pada reli panjang?sebelumnya sebagai driver pada perlombaan sprint rally dan junior rally?kelihatannya tidak akan membuang kesempatan dan peluang, karena ayahnya Ricardo sepenuh hati menyalurkan hobi dan bakat putera semata wayang itu.
?Saya dapat berita bahwa di Ukraina ada kejuaraan nasional terbuka yang dapat diikuti anak usia 13-14 tahun, sehingga Sean dapat tampil pada beberapa putaran di negara itu,? tutur Kadok, panggilan Ricardo yang didampingi Hervian Soejono ketika menyabet gelar nasional tiga tahun lalu.
Ia bahkan merencanakan puteranya yang masih sekolah kelas tujuh inernasional atau setingkat kelas dua SMP itu akan tampil penuh sebagai driver pada putaran kedua kejuaraan nasional di Sulawesi Selatan, 2-4 Oktober, yang juga sebagai salah satu putaran seri Asia Pasifik.
?Ia akan membawa sendiri kendaraannya dan navigatornya adalah Tony Sircombe dari Selandia Baru,? ujar Kadok, menyinggung Sircombe, juara dunia navigator PWRC 2006, yang banyak membantu Sean baik secara teknis mau pun nonteknis, baik sebelum maupun saat mengikuti berbagai kejuaraan di Tanah Air.
Tentang kemampuan Sean, baik Cody mau pun Sircombe, menyatakan amat takjub dan seperti tidak percaya dengan ketrampilan anak belia itu. ?Orang yang tidak tahu, pasti tidak percaya bahwa usianya masih 12 tahun. Ia amat trampil, tenang, sehingga dapat dipercaya mengikuti reli panjang,? kata Cody, senada dengan Sircombe.
Sircombe menambahkan, karakter lintasan di Sulawesi Selatan berbeda dengan yang di Penajam, Kalimantan Timur. ?Di Penajam lintasannya panjang dan amat kencang sedangkan di Makassar pendek-pendek, sehingga memungkinkan ditempuh Sean sebagai pereli pemula pada semua lintasan,? katanya.

Kalau Sean tetap konsisten dengan hobinya itu, didukung sepenuhnya oleh keluarga, maka bukan tidak mungkin suatu saat akan ada atlet otomotif Indonesia yang akan tampil di jenjang kejuaraan dunia reli (WRC), setelah yang dilakukan Ubang di PWRC (production world rally champonship) yang pelaksanaannya bersamaan dengan WRC (world rally championship).

BURUNG MERAK ITU TERBANG TINGGI By A.R. Loebis

Jakarta, 7/8 - "...Orang yang menghayati daya hidup akan paham terhadap kematian. Orang yang tidak menyia-nyiakan hidupnya akan lebih paham menghadapi kematian...," demikian WS Rendra pernah menulis.

Willibrordus Surendra Rendra Bawana Renda, demikian nama pemberian orangtuanya, menyatakan kalimat di atas dalam artikelnya berjudul Daya Hidup (1986), atau 23 tahun sebelum wafatnya pada Kamis (6/7) malam.

Rendra mengatakan, sebelum ada daya ekonomi, daya politik, daya sosial, daya filsafat, daya agama, daya ilmu pengetahuan, daya seni dan daya lainnya, daya yang pertama dan utama dari manusia adalah daya hidup.

"Tanpa ada daya hidup, daya-daya lainnya menjadi lesu, beku atau bahkan sirna. Mengolah daya hidup adalah hal yang sangat penting dalam membina hidup manusia dan ancaman terhadap daya hidup amat merugikan manusia," kata si Burung Merak, seniman serba bisa yang pernah ditangkap pemerintah Orde Baru ketika sedang membacakan puisnya di TIM.

Ketika itu, puisinya berjudul Sajak Sebatang Lisong Rendra dianggap dianggap memprovokasi publik.
Inti kalimat Rendra di atas adalah manusia harus hidup dalam hidup, jangan sampai mati dalam hidup.

Itu bentuk altruisme kata-kata sejenis yang diungkapkan Chairil Anwar dalam frasa Sekali Berarti Sesudah itu Mati. Rendra dan Chairil selalu meradang, menerjang, bila menyaksikan ketidakadilan di sekeliling mereka dan bila melihat rendahnya semangat juang di lingkungannya.
Rendra pernah amat sebal dengan mengatakan, "Tiba-tiba aku jadi muak pada seniman-seniman muda yang tidak mempunyai tenaga, tidak mempunyai kelurusan pikiran dan pengendapan pengalaman." (Keagungan Penari-penari Losari, 1982).

Ia mengekspresikan kata-kata itu ketika menyaksikan seorang penari tua (70 tahun) di Losari, Cirebon, yang masih amat ekspresif dengan gerakan-gerakan tenaga muda.

Ibu Dewi, si penari di Losari itu mengatakan, "Untuk menari Kelana dibutuhkan tenaga sebesar yang diperlukan untuk menumbuk satu kuintal padi. Tenaga itu tidak keluar kalau sebagai penari, pikiran tidak tenang. Untuk memainkan perananan dahsyat kita harus siap dengan ketenangan pikiran."
Rendra mengalami hal paradoks dalam pemikirannya, di satu sisi menyaksikan betapa generasi tua masih kuat dengan keberadaan mereka, dengan loyalitas terhadap nilai berkesenian mereka, dengan kepekaan terhadap sistem sosial lingkungan mereka, namun di sisi lain ia melihat kehidupan kesenian generasi lain begitu terpedaya dengan alam maya mereka, dengan alam nalar mereka.
Empu Bengkel Teater itu berpendapat, "Daya kreatif adalah kemampuan untuk bereaksi dan beraksi secara unik. Artinya, penuh dengan kepribadian, tidak sekadar berdasarkan kebiasaan umum. Oleh karena itu daya kreatif selalu mengesankan kesegaran, obat yang diperlukan untuk melawan kejenuhan dan kemacetan." (Kreativitas. 1986).

Rendra, kelahiran Solo 7 November 1935, yang antologi puisinya sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Urdu, Sanskrit, Rusia, Malaysia dan beberapa lainnya itu, memang merupakan pribadi unik yang mengutamakan nalar.

Ia mengatakan, bila manusia ingin menghayati sesuatu keadaan atau objek dengan panca indra total, maka manusia akan selalu menemukan
hal unik. Objek yang telah lama dikenal, katanya, atau barang lumrah dalam hidup keseharian, bisa menjelma menjadi sesuatu yang segar dan baru.

Untuk melatihnya, di Bengkel Teater, beberapa pemain yang kepekaan panca indranya tumpul sering dilatih dengan cara matanya dibalut atau telinganya disumpal gabus untuk tiga atau lima hari.

Mereka mengalami dimensi pengalaman baru. Mereka melalui kulitnya merasakan temperatur berbeda di tiap ruang atau kamar, karakter bunyi dan suara teman mereka tandai, bau pisang pun semakin terasa bahkan bau teman-teman mereka sendiri bisa dibedakannya.

Fuad Hasan (1999) menggambarkan Rendra sebagai penutur yang berkelana tanpa genderang dan tidak mencari telinga yang bersedia mendengar dan mata yang bersedia menatap dan ia tidak memilih mitra untuk bicara.

"Tetapi Rendra semakin mekar sebagai pembawa pesan karena kehadiran pengagumnya dan orang terkesan karena citranya sebagai burung merak yang semakin kemilau warna-warninya," kata Fuad.
"Rendra mengungkapkan muatan batinya dalam hening kesendirian dan meniupkan hidup ke dalam gagasannya melalui berbagai perlambangan. Rendra ibarat gabungan antara air, awan dan angin. Ia ibarat penggembala di padang luas. Serunainya mengalun, berkumandang di seantero manusiawi, mengalir melalui air, berarak melalui awan, berhembus bersama angin," ujar Fuad.
Rendra pernah berujar, "Manusia adalah gabungan dari kemungkinan dan keterbatasan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia" (Kepribadian, 1986).

Rendra yang amat vokal melancarkan kritik terhadap pemerintah Orba lewat puisi dan dramanya, kini sudah mewujudkan banyak perencanaannya, namun ia memasuki keterbatasannya sebagai manusia, berpisahnya jasad dan roh.


Perjalanan hidup
Rendra, putera dari ayah R Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno di SMA Katolik Solo, dan ibu Raden Ayu Catharina Ismadillah, penari serimmpi di Keraton Surakarta, adalah katolik taat. Kemudian dia masuk Islam ketika menikah dengan Sitoresmi Prabuningkat pada 12 Agustus 1970.

Ia mengumumkan ketika itu namanya menjadi Rendra saja. Belakangan dia bernama H. Wahyu Sulaiman Rendra. Istri pertamanya meninggal pada 1995 dan ia menikah lagi dengan Sitoresmi, pemain drama dalam Bengkel Teater. Ia bercerai lagi kemudian menikah lagi dengan anggota Bengkel Teater, Ken Zuraida.
Sejak kelas dua SMP ia sudah dikenal jago membaca puisi dan ketika SMA ia sudah menerbitkan majalah drama sejumlah 500 eksemplar.

Sajaknya yang pertama dikirimkan kepada majalah Siasat pada 1952, setelah itu karyanya mulai bertaburan di berbagai media di Tanah Air.

Ia juga menulis cerita pendek, "Ia Punya Leher yang Indah" dimuat di majalah Kisah, 1956, dan untuk pertama kali ia menerima hadiah dari majalah itu.

Ia juga menulis drama dan salah satunya (Orang Orang di Tikungan Jalan) mendapat hadiah dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

Berbagai pengamat sastra, seperti Profesor A Teew, Profesor Harry Aveling dan yang lainnya melakukan pengamatan dan penelitian atas karya Rendra bahkan Profesor Rainer Carle, pakar sastra dari Jerman, membuat disertasi dengan judul Rendras Gedichtsammlungen (1957-1972).

Rendra juga memberi kuliah di berbagai negara, termasuk di Harvard University, American Acedemy of Dramatic Arts, dan kuliah sosiologi di New York University.
Dramanya berjudul Bib-Bob sangat terkenal dan dipentaskan di Indonesia pada 1968, disusul di New York, Tokyo, dan beberapa negara lain. Drama terjemahannya yang terkenal adalah Oedipus Sang Raja dan Qasidah Berzanji.

Kumpulan puisi Rendra yang diterbitkan atau dipentaskan antara lain Balada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972), Nyanyian Orang Urakan (1985), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), dan Orang-orang Rangkasbitung (1993).
Karya kumpulan esainya, Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Selamatkan Anak Cucu Sulaiman (1967), Mastodon dan Burung Kondor (1972), Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Sekda (1977) dan Penambahan Reso (1986) (drama). Ia Sudah Bertualang (1963) (kumpulan cerita pendek) serta Mempertimbangkan Tradisi (1983).

WS Rendra kini telah tiada, si "Burung Merak" itu sudah terbang tinggi, tidak kembali lagi.