Sunday, May 27, 2007

IMPOSSIBLE IS NOTHING

Athena, 28/8 -2004 - Frase "Impossible is nothing" serta "When you begin the only stop is at your destination !" meupakan motto Yunani bagi atlet mereka yang tampil dalam berbagai pertandingan Olimpiade yang berlangsung 13-29 Agustus 2004.
Motto itu diterakan pada gambar atlet di berbagai persimpangan jalan atau di tembok-tembok dalam ukuran besar.
Tapi ketika hal itu ditanyakan kepada seorang warga Yunani yang sedang menyaksikan gambar-gambar itu di tepi jalan, ia mengatakan ungkapan itu sebenarnya untuk semua atlet bahkan untuk semua orang yang akan atau sedang mengerjakan sesuatu.
Frase itu kalau diindonesiakan mungkin kira-kira berarti "tidak ada yang tidak mungkin" serta "ketika kita memulai sesuatu maka pemberhentian kita adalah tujuan kita".
Yunani yang pada 1997 sudah dipilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2004, diberitakan besar-besaran belum siap menyelenggara Olimpiade karena banyaknya sarana, prasarana serta infrastruktur Olimpiade yang belum selesai.
Anggaran Olimpiade Athena pada awalnya disebut-sebut mencapai 4,6 milyar ero namun meningkat mencapai 10 milyar ero ($12, 1 milyar), melebih dua kali lipat dari target awal, sehingga mendorong semakin lebarnya celah anggaran keuangan Yunani di atas limit Uni Eropa, seperti diungkapkan sumber dari Kementerian Keuangan Yunani pada media.
Anggaran Olimpiade negara itu sebenarnya dipatok sebesar 4, 6 milyar ero, tapi karena meningkatnya anggaran untuk keamanan dan pembangunan berbagai infrastruktur yang berkaitan dengan Olimpiade maka anggaran negara itu membludak, termasuk anggaran keamanan yang meningkat melebihi target satu milyar dolar.
Sumber berita yang dikutip kantorberita itu melaporkan, bahwa ia sendiri merasa tidak jelas seberapa jauh sebenarnya kebutuhan Yunani sehingga minta bantuan keamanan pada NATO untuk melindungi sampai selesai Olimpiade Athena.
Dalam tempo dua bulan, Pemerintah Yunani sudah menaikkan perhitungan anggarannya, dari enam milyar ero menjadi tujuh milyar ero, sehingga Wakil Menteri Keuangan Petros Doukas memperingatkan bahwa tingginya anggaran Olimpiade itu akan memicu timbulnya deifisit anggaran Yunani di atas empat persen dari GDP tahun ini.
Menyusul defisit tahun lalu serta meningkatnya anggaran yang sudah direncanakan pada 2004, maka anggaran berjalan 2004 tampaknya akan defisit mencapai 4,5 persen, posisinya berada di atas limit tiga persen dari yang ditargetkan Uni Eropa. Defisit Yunani tahun lalu antaa 4,4 sampai 4,7 persen.
Pemerintahan konservatif Demokrasi Baru, yang memegang kursi kepemerintahan setelah memenangi Pemilu Maretlalu, disalahkan atas prakarsa mereka dalam membangun venues Olimpiade serta tingginya anggaran untuk kemanan.
Yunani mengeluarkan anggaran keamanan sebesar satu milyar ero untuk melindungi acara olahraga akbar itu setelah terjadi serangan 11 September 2001 di Amerka Serikat.
Kalangan oposisi sosialis, yang sebenarnya menolong Athena menjadi tuan rumah tapi kehilangan kekuasaan lima bulan lalu, mengatakan pemerintahan baru menghamburkan dana termasuk membangun sarana yang tidak berkaitan dengan Olimpiade, misalnya jalur baru lintas metro.
"Ada masalah pendanaan yang menjadi masalah besar dan hal ini akan melilit ke berbagai hal," kata Menteri Keuangan dan Ekonomi Yunani Yiorgos Alogoskoufis seperti disiarkan radio.
Athena tampaknya berhasil sebagai tuan rumah Olimpiade ke-28, yang untuk pertama kalinya kembali ke negara mereka sebagai negara pencetus Olimpiade modern pertama yang diadakan di negara itu pada 1896.
Bagaimana kelanjutan pembicaraan tentang perekonomian dalam negeri Yunani, mungkin masih dikaji berkesinambungan, sementara diperhitungkan pula pajak negara dari raykat Yunani selama Olimpiade ini dapat mencapai tujuh milyar ero.
Apa pun yang terjadi, Yunani atau lebih tepatnya Athena sudah menjalankan misi mereka menjadi tuan rumah yang terbaik dan hal-hal yang selama ini diperhitungkan akan mempengaruhi jalannya acara Olimpiade,--terutama dari sisi keamanan,--tidak ada terjadi dan orang di mana-mana merasa aman.
Tidak ada yang tidak mungkin dan Yunani sudah memulainya beberapa tahun lalu dan mereka akan mengakhirinya pada titik tujuan, yaitu sampai akhir Olimpiade yang usai 29 Agustus.
Ada lagi kata-kata yang tertera dengan huruf amat besar pada dinding-dinding gedung:
" Another Athens shall arise / And to remoter time / Bequeath, like sunset to the skies / The spelendor of its prime, / And leave, if nought so bright may line / All earth can take or Heaven can give."
Memang, tidak ada yang tidak mungkin, demikian pula dengan kiprah para atlet di medan laga termasuk tentu saja dengan tuan rumah sebagai penanggung jawab penyelenggara.
Bravo Athena. (ar loebis)

Friday, May 25, 2007

MESJID BURUNG DI SOUQ ASSIRI

Doha, 9/12 2006 – Dari luar bentuk bangunan itu tidak begitu istimewa, hanya berupa bangunan biasa dengan empat cungkup dan satu tower di atasnya sedangkan dindingnya di semen seadanya dan di atapnya yang seharusnya putih sudah menghitam kena kotoran burung.
Ratusan burung dara memenuhi atapnya, terkadang turun ke pelataran di depannya dan bila ada orang yang membawa makanan maka orang itu seolah tertutup dengan burung-burung itu.
Bangunan di kawasan pusat perbelanjaan tradisional yang disebut Souq Assiri atau Pasar Keluarga itu, disebut warga setempat Mesjid Burung, karena banyaknya burung di sekitarnya.
Kendati di kawasan itu banyak mesjid lain dengan bangunan biasa,--yang membedakannya dengan bangunan lain adalah towernya,--tapi Mesjid Burung amat disukai masyarakat sekitarnya, karena suasana di dalamnya amat asri, adem dan luas.
Di pintu luar mesjid itu ada tulisan Syech Al Kassim bin Muhammad Al Thani serta di sebelahnya ada tulisan “Masehi 109” namun beberapa orang yang ditemui di masjid itu tidak faham dengan arti tulisan masehi 109 itu.
“Saya tidak tahu apakah bangunan dibuat pada tahun 109 atau ada maksud lain dari tulisan itu. Yang jelas, ini merupakan wakaf dari keluarga besar Al Thani, yang satu garis ketuturan dengan Emir sekarang,” kata Mahdi Musa, warga Indonesia asal Aceh yang sudah lama menetap di Doha, Qatar.
Seperti umumnya memasuki semua mesjid di Qatar, di pelataran luar dan dalam disediakan rak susun terbuat dari kayu untuk meletakkan sandal atau sepatu dan tidak pernah ada orang yang menjaganya, apalagi meminta uang untuk jasa penyimpanannya.
Di salah satu ruangan, ada tempat untuk menyucikan najis atau untuk berhadas besar atau kecil dan di sebelahnya tempat untuk mengambil air wudhu dengan cara duduk di tempat yang sudah dibangun secara permanen di depan kran air.
Di bagian luar ada tempat jamaah yang ingin sembahyang di luar atau kalau tidak ada lagi tempat di dalam.
Ketika memandang ke atas sebelum masuk ke bagian dalam mesjid, terlihat ada tepas dari bambu yang seperti digunakan di desa-desa Indonesia sebagai dinding rumah. Tapi warga setempat tidak tahu dari mana didatangkan benda yang mirip dengan yang ada di Indonesia itu.

Megah di dalam
Saat berada di dalam ruangan yang bentuknya memanjang, baru terasa perbedaan amat mencolok dengan pandangan luar bangunan yang terkesan “kumuh”, apalagi terletak di tengah pertokoan.
Ruangan dalam mesjid yang pintunya banyak namun tidak berjendela itu, disangga banyak tiang yang jaraknya satu tiang dengan tiang lain sekitar 10 meter sementara lampu yang cukup banyak membuat ruangan itu terang benderang.
Bersih dan terang benderangnya ruangan dalam membuat suasana memang amat asri dan di dalam mesjid itu menimbulkan kesan megah dan anehnya ratusan burung itu tidak ada yang masuk ke pelataran dalam
“Burung itu tidak masuk ke dalam sehingga suasana di pelataran atau halaman dalam mesjid bersih,” kata Mahdi (54), mantan karyawan PT Arun Aceh yang kini bekerja sudah sembilan tahun di LNG Qatar.
Khatib Shalat Jumat berdiri di depan jamaah yang duduk memanjang dan memberikan uraian kerokhanian yang tetap disambut jamaah dengan ucapan “Jalla wajalla” setiap diucapkan Allah SWT dan mengumandangan “Solollohu’alaihi Wassalim,” setiap mengucapkan kata Nabi Muhammad.
Syaf dalam mesji itu memanjang dan satu syaf bisa diisi lebih dari 100 orang sedangkan jumlah syaf ada 30 sehingga kapasitas ruangan dalam mesjid itu amat luas dan saat melakukan Shalat Jumat di tempat itu (8/12-2006) terlihat jamaahnya amat beragam baik pakaian mau pun perawakannya.
Jamaahnya ada yang mengenakan jubah, namun banyak yang berpakaian biasa seperti orang kerja dan beberapa di antaranya mengenakan celana jeans dan pakai jaket, karena udara di Doha sedang dingin.
Khatib Shalat Jumat, orang Arab yang mengenakan jubah putih panjang dan bersorban, dengan menggunakan bahasa Arab, berbicara sekitar 45 menit menyangkut pentingnya manusia tidak hanya mementingkan hal-hal duniawi, melainkan tujuan yang utama yaitu akhirat.
Usai shalat dua rakaat, jamaah ada yang melakukan shalat sunnat dan ada pula yang langsung meninggalkan mesjid dan sejak shalat di masjid saat tiba di Doha dua minggu lalu, tidak ada tradisi bersalaman antarsesama jamaah, seperti yang dilakukan ummat muslim di Indonesia.
Di pelataran depan atau halaman luar di depan Mesjid Burung, --yang memang tidak ada namanya khusus seperti umumnya mesjid lain di Qatar,--orang tidak boleh merokok dan bila ada orang merokok maka petugas mesjid menyuruhnya pergi.
Salah seorang warga Indonesia lainnya, Alex Syah yang bekerja di Qatar Petroleum, mengatakan Mesjid Burung memang memiliki keistimewaan karena banyaknya burung di mesjid itu.
“Tapi di sini ada mesjid dimana-mana. Jarak beberapa ratus meter ada mesjid, sehingga negara ini mungkin bisa saja dijuluki Negara Seribu Mesjid,” kata Alex, keturunan asli Minang namun lahir di Bandung 40 tahun lalu dan bermukim di Doha sejak 2001.
Kenyataannya, di Doha terlihat bangunan mesjid dalam jarak beberapa ratus meter bahkan tidak jarang hanya dibatasi jalan umum dan jamaahnya tetap penuh saat berlangsung shalat lima waktu.
“Di sini jamaahnya tetap banyak kendati jarak mesjid berdekatan,” kata Alex sementara Mahdi mengatakan orang yang punya uang di Qatar amat suka mewakafkan tanahnya untuk didirikan mesjid.
“Orang yang punya tanah lebih, pasti disediakan sebagian untuk mesjid atau mushola. Orang di sini pun suka membuat tempat minum berupa kran air di tempat tertentu untuk memberi minum kepada orang yang dahaga. Makanya di stasiun bus pun ada tempat untuk minum atau cuci muka. Itu amat dibutuhkan orang, apalagi bila sedang musim panas,” kata Mahdi.
Mesjid Burung di Souq Assiri itu, terletak di kawasan perbelanjaan tradisional yang ada komunitasnya, misalnya pertokoan Filipina, Sri Landa, Pakistan, India dan lainnya termasuk Indonesia.
Mesjid Burung menjadi tempat berkumpulnya orang muslim dari berbagai negara yang ada di wilayah itu, dan kendati negara itu bisa dijuluki negara 1000 mesjid, namun bila hari Jumat banyak orang menggunakan mobil dan bus yang datang dan shalat di mesjid yang atapnya dipenuhi burung dara itu. (ar loebis)

Wednesday, May 23, 2007

PERNIK LIPUTAN OLAHRAGA (3)

Bagian Ketiga

PERNIK ATAS
Wartawan Indonesia penuh dengan lika-liku dinamis dalam mengarungi profesinya, baik wartawan umum maupun yang khusus meliput olahraga. Kreativitas, kualitas, keberanian mengekspresikan diri wartawan selalu membawanya ke percaturan jenjang profesi baik secar vertikal maupun horisontal.
Namun tak kalah banyaknya wartawan yang monoton, sampai tua di lapangan dan sakit-sakitan lagi, tentu saja karena kualitasnya yang monoton tadi, sehingga menimbulkan keprihatinan berkepanjangan bagi rekan-rekannya yang lain.
Apakah medianya tidak menunjang jenjang karirnya? Saya rasa tidak juga, karena kalau kualitasnya memadai dibanding dengan rata-rata rekan lainnya, maka ia bisa saja beralih ke media lain yang lebih memberikan fasilitas atau menjanjikan masa depan.
Bab mengenai Pernik Atas ini lebih banyak menyoroti jenjang kewartawanan, sebagai konsekuensi logis keberadaan wartawan sebagai profesi yang mengalami “penerusan” (follow up) baik secara vertikal maupun horisontal, baik secara struktural maupun fungsional.
Peralihan kerja wartawan dari satu media ke media lain kerap terjadi. Di satu sisi ada yang menyebutkan mereka sebagai “kutu loncat” tetapi di sisi lain itulah tanda adanya keinginan menomorduakan kemapanan, menunjukkan adanya sifat dinamis, dengan catatan terjadinya pergeseran derajat secara horisontal maupun vertikal.

A. PERGESERAN VERTIKAL DAN HORISONTAL
Pergeseran rekan wartawan yang dulu sama-sama meliput olahraga di lapangan, kini ada yang menjadi pengelola beberapa penerbitan. Ini tidak terlepas dari kemampuannya baik secara teknis maupun kekuatan melobi dan memelihara kepercayaan sumber berita.
Contoh yang bisa dilihat hingga sekarang adalah Mahfuddin Nigara. Ia menekuni liputan olahraga pertama kali di majalah Olympic, kemudian membantu liputan olahraga Kompas, pindah ke tabloid bola, kemudian mendirikan tabloid khusus olahraga Gema Olahraga (GO).
Kemudian niatnya yang kuat ditopang ambisi yang besar dan adanya dukungan dana, kiprahnya semakin berkembang, sehingga akhirnya “membeli” Harian Sinar Pagi dan Berita Buana. Masih sempat-sempatnya ia sebagai komentator tetap tinju internasional di televisi swasta Indonesia.
Dukungan dana dari Grup Bakri saat itu membuat berkiprahnya di dunia media massa semakin berkembang. Pada munas PWI Pusat di Semarang, ia terpilih pula sebagai wakil sekjen PWI Pusat periode 1989-2003.
Yang membuat Mahfuddin Nigara patut diacungi jempol, di media massa yang dikelolanya itu, ia tidak saja bertindak selaku manajer untuk mengelola secara umum, tetapi juga masih ikut menulis di kolom-kolom khusus namun belakangan ini aktivitasnya lebih banyak di tabloid Gema Olahraga.
Atal. S Depari dari Suara Karya, diajaknya bekerja sama di Gema Olahraga, kemudian diajaknya pula sebagai Pelaksana harian Pimpinan Redaksi di Harian Sinar Pagi. Namun beberapa lama kemudian, entah apa yang terjadi, Atal mendirikan Tablod Umum Dinamika, kini juga memenej bidang umum dan redaksional ketika Dinamika tumbang, Atal bersama rekannya Riang Panjaitan dari Sinar Pagi menerbitkan Harian Berita Kota.
Pada awalnya banyak rekan yang menyangsikan kepiawaian Nigara dan Atal di bidang media umum, karena latar belakang mereka belasan tahun hanya meliput olahraga.
Tapi kenyataannya, media yang mereka tangani mampu mengimbangi media umum lainnya, malah di beberapa segi terasa “lebih tajam” dalam membedah permasalahan dan kasus krisis politik yang terjadi di negara ini. Hal ini juga sebenarnya membuktikan adanya kerja tim yang erat dalam menerbitkan media massa.
Keberanian rakan Atal ini pun perlu diamati, karena konon ia bersama rekannya sempat menjual rumah untuk modal mendirikan media, yang kini amat mudah mengurusi SIUPP-nya itu. Entah siapa pula yang berdiri di belakang layar sebagai pemodal mereka, karena dalam beberapa penerbitan awalnya belum kelihatan iklan yang merupakan salah satu penunjang keberadaan media massa.
Dari sisi kejiwaan, yang pasti Atal sedang mencari “kepuasan batin” seperti daikatakannya dalam kolom Dinamika, bahwa mereka menemukan kebebasan kendati kerja rangkap di beberapa bidang. Konon sebanyak 27 orang karyawan Sinar Pagi eksodus ke Dinamika.
Pergeseran kerja secara horisontal dan vertikal ini benyak dialami rekan wartawan. Ign. Sunito, wartawan olahraga Kompas, menjadi wakil pimpinan umum/ pimpinan perusahaan di tabloi BOLA, Sam Lantang dari Berita Yuda jadi wartawan BOLA dan kini menjadi manajer pusat informasi olahraga (PINO) BOLA, Valens Doy dari peliput olahraga KOMPAS sempat jadi semacam direktur penerbitan khusus Gramedia, Sumohadi Marsis dari Berita Yuda jadi pimpinan redaksi BOLA.
Albert Kuhon dari Kompas pindah ke Suara Pembaruan dan kini memegang salah satu jabatan eksekutif di Liputan 6 SCTV, Budiarto Shambazi dengan latar belakang hubungan internasional sempat di olahraga Kompas dan kembali ke olahraga, Suryopratomo dengan latar belakang pertanian sempat jadi pimpinan meja sunting olahraga Kompas kemudian jadi wakil redaksi pelaksana malah kini jadi pimpinan redaksi, Hendry CH Bangun dengan latar belakang Sastra Indonesia meliput olahraga Kompas dan kini jadi salah seorang pelaksana eksekutif di Warta Kota yang juga grup Gramedia. Sulaiman Ros dan Berto Riyadi meliput olahraga belasan tahun pernah dialihkan pada liputan politik/ hukum Jawa Pos. bahkan rekan Berto menjadi salah satu pelaksana eksekutif di koran baru Grup Jawa POS, Radar Bogor.
Sedangkan Sugeng Indarto sebagai kepala meja olahraga Pos Kota sempat dialihkan ke bagian produksi (percetakan), Rudy Novrianto dengan gelar insinyur menangani olahraga Tempo (lama) dan kini Gatra.
Istiqoma, dari menangani olahraga di Sportif, pindah ke Media Indonesia dan kini sebagai pimpina redaksi majalah Mobil Motor (MM), Endi Supriatna dari otomotif beralih ke majalah Mobil pimpinan Tinton Soeprapto dan pindah lagi ke “otogenic.com”. Linda Wahyudi dari BOLA pindah ke RCTI, Tomy Yosrifal dari olahraga ANTARA beralih ke AnTeve, Dedi Reva dari Pelita pindah ke jenjang eksekutif bidang olahragaAnTeve, Yon Moeis dari Jayakarta ke “Mobil online.Com” dan pindah lagi ke Koran TEMPO, dan Prayan Purba dari olahraga SINAR PAGI jadi Redaktur Pelaksana.
Pergeseran secara vertikal dan horisontal dalam kerja media massa merupakan hal yang lumrah. Untuk itu, kualitas personal wartawan harus menjasi pegangan utama, artinya wartawan harus memiliki semangat dan kemauan untukk belajar terus. Sarjana yang baru menyelesaikan kuliah, dengan masuknya ke bidang media massa, berarti memulai lagi “studi” khusus dan ia akan menjadu pendatang baru (new comer), yang kinerjanya akan diuji dalam perjalanan waktu.
Wartawan juga dituntut untuk mempelajari atau mengerti tentang manajemen, karena semakin tinggi kualitas si wartawan, semakin terbuka kemungkinan ia akan ditantang untuk menapak ke jenjang yang lebih tinggi sehingga butuh pengetahuan tentang cara memenej serta memiliki jiwa kepemimpinan (leadership).
Tetapi pada kenyataannya, banyak terjadi, wartawan yang sudah belasan tahun di lapangan, tidak suka jika “ditarik” ke dalam untuk duduk di belakang meja kendari diberi jabatan khusus. Hal seperti ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, sehingga tidak mengherankan bila kita menemui wartawan meliput di lapangan dengan usia yang sudah “senja”.
Profesi wartawan termasuk bidang yang unik. Kalau profesi dokter harus didahului dengan pendidikan kedokteran, jadi perawat didahului sekolah perawat, jadi arsitek didahului sekolah di bidang arsitek, jadi pilot harus melewati pendidikan khusus dan beberapa bidang lainnya. Namun untuk jadi wartwan dari disiplin manapun bisa. Jadi tidak harus melewati pendidikna khusus mengenai jurnalistik, cukup media yang menerimanya mendidik selama beberapa bulan.
Sebaliknya, untuk menekuni profesi wartawan, tidak dapat pula tanpa melalui jenjang pendidikan formal seperti SD, SMU dan Perguruan Tinggi, bahkan dewasa ini ijazah S-1 merupakan persyaratan mutlak.

B. BATU LONCATAN
Bagi wartawan di mana pun posnya, termasuk olahraga, jika ditekuni dengan serius sembari terus mengembangkan wawasan, profesinya itu dapat sekaligus sebagai “batu loncatan” untuk menapak ke bidang tertentu.
Jika bertahan pada media yang sama, si wartawan suatu saat jika menunjukkan kualitas tinggi, akan mengalami peningkatan karir secara vertikal struktural dan karena kemampuannya mengekspresikan diri akan mengalami jenjang peningkatan horisontal baik pada bidang yang sama maupun secara organisatoris, bahkan ke jenjang eksekutif dan legislatif.
Contohnya adalah para pengurus PWI daerah dan PWI Pusat, yang mungkin dengan target tertentu akhirnya menapak menjadi anggota MPR/ DPR, seperti Sofyan Lubis (Pos Kota), Parni Hadi (perbah di ANTARA/ Republika/ ADIL/ dll), Marcel Beding (=alm Kompas), Tarman Azzam (Terbit), Chrys Kelana (dari Kompas pindah ke RCTI) dan beberapa lainnya.
Para wartawan senior yang sempat berkiprah ke jenjang yang lebih tinggi adalah BM Diah pernah menjadi Dubes, Sabam Siagian dari Jakarta Post jadi Dubes di Australia, Harmoko dari Pos Kota jadi ketua PWI Pusat dan ketua DPP Golkar serta ketua MPR/ DPR, Jaffar Aassegaf dari ANTARA jadi Dubes di Vietnam dan kini di Media Indonesia dan Metro TV.
Pada tingkatan tertentu, wartawan olahraga yang menekuni bidang tertentu, umumnya menjadi “perpanjangan tangan” induk organisasi yang bersangkutan dan ditunjuk sebagai Humas, bahkan sampai ke tingkat KONI. Sam Lantang, misalnya dari BOLA menjadi Humas KONI DKI Jaya, Max Sopacua dan TVRI pernah duduk di jajaran Humas KONI Pusat bersama Zuhri Husen yang pernah menjadi wartawan salah satu majalah.
Wartawan pun, karena kredibilitasnya di bidang tulis menulis dan selalu unggul dalam hal mengumpulkan bahan materi informasi, selalu diminta menangani penerbitan khusus, misalnya majalah intern perusahaan atau induk organisasi olahraga.
Selama tidak mengacu pada prinsip mencari keuntungan (nonprofit) dan tidak mengganggu jam kerja kantor, pimpinan kantor di mana si wartawan bekerja biasanya tidak melarang, bahkan mendukungnya karena si wartawan diharapkan akan semakin kreatif dan lebih unggul dalam melobi sumber berita atau mencari berita atau menggali berita yang dibutuhkan kantornya.
Karena ketekunan si wartawan dalam mengikuti perkembangan salah satu cabang yang diminatinya, maka banyak wartawan olahraga yang menjadi komentator di televisi, seperti komentator sepakbola Liga Eropa, komentator bola basket, komentator perlombaan Formula 1 atau sepeda motor Grand Prix dunia, bulu tangkis dan lain sebagainya.
Bahkan dari menulis berita, kemudian mengulas dan sebagai komentator, ada yang menjadi pengurus cabang yang bersangkutan atau menjadi manajer tim bila atlet bertanding ke luar negeri seperti yang terjadi pada Benny Mailili (tenis).
Christianus Liem dari meliput catur di majalah Sportif, malah dipercayai menjadi pengelola sekolah catur Guna Dharma dan kini menjadi pengamat catur, sementara Brata Triyana yang pernah di meja sunting olahraga ANTARA beralih total menjadi staf eksekutif bidang kehumasan Coca Cola kemudian beralih lagi ke perusahaan lain. Beberapa rekan koresponden surat kabar daerah yang ada di Jakarta, selain meliput olahraga, juga meliput bidang lain bahkan ada yang merangkap mencari iklan.

Masih sedikit
Melihat sepintas kerja seorang wartawan, baik di bidang umum apalagi olahraga, masih inginkah Anda jadi wartawan olahraga?
Menjadi wartawan ini ada yang memang sudah bakat dan memang ingin jadi wartawan, tapi ada juga karena melamar kerja akibat belum diterima di tempat lain. Selama beberapa waktu, para senior di kantor tempat si wartawan baru bekerja, biasanya dapat melihat kinerja dan kemampuan calon wartawan yang baru direkrut itu. Ada yang berkembang terus, tapi ada pula yang terasa sudah “mentok”.
Kalau di Ibu kota, wartawan olahraga umumnya tugasnya hanya meliput olahraga, demikian pula di beberapa kota besar yang frekuensi kegiatan olahraganya banyak, seperti di Medan, Surabaya dan Semarang. Tapi di daerah tertentu, peliput olahraganya adalah juga peliput bidang lain.
Dengan demikian, wartawan olahraga di Indonesia sebenarnya masih dapat dihitung karena jumlahnya amat kecil. Kalau diadakan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas), banyak media yang menurunkan atletnya tapi sebenarnya bukan wartawan olahraga, tapi dari bidang-bidang lain.
Jangankan untuk peliput khusus olahraga, untuk semua bidang pun, wartawan Indonesia dibanding dengan rakyat yang mencapai 206 juta jiwa, masih amat sedikit. Yang terdaftar di PWI Pusat, masih belum mencapai puluhan ribu orang. Dengan terbitnya ratusan media massa setelah dipermudah mendapatkan SIUPP, tampaknya jumlah wartawan pun masih tetap dikategorikan sedikit sekali, padahal tugasnya sebagai agen informasi amat dibutuhkan di negara besar ini.
Sedangkan tabloid yang khusus olahraga pun dapat dihitung dengan jari, yang ada baru BOLA, Gema Olahraga dan yang khusus memuat berita otomotif yaitu OTOMOTIF, Motor Plus, Otosport, sedangkan majalah olahraga adalah Mobil Motor, Mobil Indonesia, Motor, dan Auto Sport (sudah mati). Belakangan ini beberapa majalah khusus terbit, seperti Liga Inggris, Liga Italia F1.
Sedangkan Tribun olahraga (Jakarta), Raket (Jakarta), Kompetisi (Surabaya), kini tidak lagi terbit. Belasan tabloid yang belakangan ini terbit hanya berupa media umum dengan menitikberatkan pada pemberitaan politik, mungkin karena masalah politik lagi hangat di Tanah Air.
Padahal media massa khusus olahraga pun sebaiknya diperbanyak, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat berolahraga, terbukti dengan banyaknya penonton jika ada pertandingan olahrag di Tanah Air. Dan olahragapun merupakan “jiwa” bangsa, sebagai pembentuk karakter dan membawa gengsi negara ke luar negeri.
Jika asumsi itu tidak perlu diargumentasikan lagi, maka wartawan olahraga pun adalah merupakan pilar kecil pembentuk “jiwa” bangsa dan turut mempengaruhi gelombang gengsi negara di mata dunia, apalagi Menpora sudah dilikuidasi pada kabinet kedua Presiden Gus Dur.

Pernik wartawan senior
- Dalam kapasitas penampilan dan kreatif dicari untuk mengelola penerbitan atau bahkan untuk membuat penerbitan sendiri.
- Pada tingkat tertentu menjadi pemimpin di medianya.
- Selalu menjadi batu loncatan ke jenjang lain secara horisontal, misalnya, jadi Dubes, anggota dewan, anggota parpol dan tokoh organisasi, atau bahkan jadi pengusaha.
- Wartawan pada dasarnya tidak mengenal istilah pensiun.
- Berkarya terus kapan saja dan di mana saja.

PERNIK LIPUTAN OLAHRAGA (2)

Bagian Kedua

PERNIK MENENGAH

Pembicaraan kita pada bagian Pernik Menengah ini, bukan berarti bab ini merupakan jenjang dari pembicaraan pada Pernik Dasar, karena menurut saya pada beberapa bagian masalahnya saling berkaitan, bahkan ada yang merupakan kesatuan hakiki yang pada ghalibnya tidak baik dipisahkan.
Kalau pada pembicaraan terdahulu saya lebih banyak memusatkan perhatian pada profesi kewartawanan secara kepribadian atau internal, maka pada bagian kedua akan dibahas sebagian unsur keterkaitannya kepada unsur luar atau secara eksternal.
Profesi wartawan, seperti halnya guru, dokter, perawat pada prinsipnya adalah sama, kendati tidak berhubungan langsung dengan orang, melainkan lewat mediator, yaitu media massa. Namun bahan mentah yang akan dikomunikasikan atau diinformasikan, selalu dan umumnya berkaitan dengan orang langsung sebagai sumber berita atau penyebab terjadinya fakta.
Ada teman saya seorang dokter mengatakan, pekerjaan sebagai wartawan enak, karena tidak berhubungan langsung dengan orang secara fisik. Kalau pemikiran dokter itu berhubungan langsung secara fisik dengan orang (sakit) memang benar, karena secara faktual wartawan memang masih membawa hasil pertemuannya ke kantor untuk diolah atau diaktualisasikan dalam bentuk berita atau secara audio-visual.
Tapi bahan mentah yang dibawa ke kantor, adalah juga hasil pertemuan dengan orang langsuung secara fisik, dengan menghasilkan bentuk pemikiran, pernyataan, tindakan, perbuatan atau fakta lain hasil perbuatan atau efek tindakan lainnya.

A. PSIKOLOGI TERAPAN
Psikologi terapan yang menjadi salah satu disiplin ilmu di bidang psikologi, bagi wartawan yang tidak mempelajarinya dengan khusus, umumnya mereka merasakan langsung aplikasi (terapan) di lapangan karena banyaknya bertemu dengan sumber berita yang sifatnya beragam macam.
Jika mampu mengamati dan “merasakan” langsung, pada wawancara pertama, wartawan umumnya sudah dapat memahami unsur kejiwaan sumber berita.
Jika wartawan khusus ke kantor sumber berita, ada kalanya si tokoh sendiri yang membuka pintu kantornya ketika sekretarisnya memberi tahu kedatangan kita. Ada yang menyuruh tunggu di ruangan khusus dan ada pula yang diantar sekretaris ke ruangan dalam sementara si tokoh yang ada sedang sibuk atau “pura-pura” sibuk mencatat atau membenahi kertas dan map yang berserakan di mejanya.
Melihat gelagat kejiwaan si tokoh saat kita masuk ruangannya, wartawan yang berpengalaman biasanya langsung mengetahui kemauain si tokoh. ada yang menginginkan bicara basa-basi atau “mengorek-ngorek” masalah umum yang belum jelas diketahuinya.
“Wartawan biasanya kan banyak tahu. Apa yang kamu ketahui tentang…,” katanya menanyakan sesuatu, tidak peduli apakah yang dihadapinya wartawan olahraga atau peliput lainnya. Pokoknya wartawan dianggap sebagai orang yang serba tahu (omnicient people).
Kalau situasi begini, biasanya ia punya banyak waktu untuk ngomong-ngomong dan wartawan bisa mengalihkan pembicaraan “ngalor-ngidul”. Namun ada juga yang langsung bertanya, “Kamu mau nanya apa…,” atau …” Ada perlu apa..”.
Begitu wartawan mengeluarkan pulpen dan buku catatan atau menyiapkan alat rekam, si tokoh biasanya mulai bicara resmi dan hati-hati.
Tokoh yang sudah kenal dengan wartawan, jika bertemu di satu tempat, apalagi di tempat resmi, ada pula yang pura-pura tidak melihat atau tidak kenal, sehingga si wartawan harus mengingatkan jika ada kesempatan dekat atau ingin bicara dengannya. Ada pula yang memang menunggu si wartawan menegut pertama kali tetapi ada juga yang tersenyum atau menyapa duluan.
Wartawan yang sudah kenal baik dengan sumber berita, umumnya tidak lagi ada basa-basi dan akan salinh menyapa di manapun bertemu. Si wartawan sudah mengetehui jiwa si tokoh “luar dala” dan si tokoh pun sudah paham tentang si wartawan.
Ada pula tokoh atau sumber berita yang menganggap wartawan sudah sebagai temannya. Saat Boy Bolang jaya-jayanya sebagai promotor tinju pro awal tahun ’80 –an, suatu saat lewat di depan kantor SIWO PWI Jaya (waktu di Lapangan Tembak) dan dari jendela sembari tertawa melemparkan uang Rp 1.000.000,-. “Bagi-bagi, ya..,” katanya, “Saya lagi ada rejeki.”
Namun Boy Bolang pula yang sempat menangis ketika wartawan olahraga “memboikot” pemberitaan acara tinju yang akan digelarnya (Ellyas Piacal), karena susahnya wartawan menyaksikan latihan Pical di Sasana Tidar ketika akan mempertahankan gelar IBF.
Wartawan harus tahu kapan ia mendatangi sumber berita atau kapan ia menghubungi (sekarang bisa dihubungi lewat HP), mulai dari atlet, pelatih, manajer tim, pengamat dan ketua organisasinya, tentu saja pada awalnya sudah pernah bertemu secara langsung dan memahami “takaran” kejiwaannnya secara psikologis.
Jangan heran, ada juga tokoh yang terkadang tidak mau dihubungi wartawan lewat telepon. Ada kalanya kita mendengar suaranya mengatakan pada sekretarisnya, “Katakan saya lagi tidk ada.”
Pemahaman unsur kejiwaan secara psikologi terapan ini amat berhubungan dengan “disiplin jaga jarak” seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, karena praktek kesetaraan atau kemitraan antara sumber berita dan wartawan terkadang harus “saling menundukkan” dalam prakteknya.

B. KLIK DAN KELOMPOK
Klik dan kelompok dalam dunia wartawan olahraga selalu ada dan hal ini terjadi dua arah, bisa karena ulah si wartawan dan ada kalanya diciptakan si sumber berita, namun ada pula yang ditunjuk media masing-masing.
Ada sumber berita yang menginginkan pemberitaan di media tertentu dan ia meminta temannya dari media dari media tertentu untuk membawa wartawan dari media yang diinginkannya agar melakukan wawancara dengannya.
Ada pula sekelompok wartawan dari media tertentu membentuk kelompok tersendiri, ada yang membaur dengan wartawan lainnya dan berkelompok jika ada acara. Tetapi ada pula yang mengisolasi diri sehingga pada pertengahan tahun 90-an ada kelompok wartawan PSSI, ada kelompok KONI, ada kelompok “KODEL” (kelompok delapan), kelompok kanseleri, ada kelompok Interfed, dan yang lainnya.
Pernah pula runyam ketika kelompok peliput sepakbola pun terbagi manjadi beberapa bagian. Ada kelompok si A, ada kelompok si B (biasanya beritanya saling counter anatara tokoh atau kelompok tokoh satu dengan tokoh lainnya).
Entah pimpinan di kantor tahu entah tidak, jaman dulu ada pula kelompok ini yang dipersiapkan dengan telepon genggam (HP) dan uang sejumlah tetentu diberikan berkala. Belakangan ini saya dengar kelompok-kelompok khusus ini sudah tidak ada lagi, karena kembali menyatu dalam kelompok PSSI.
Sebelumnya, banyak orang mengatakan, berita-berita sepakbola di Tanah Air lebih seru di luar lapangan (tokoh dan organisasinya) ketimbang permainan atletnya. Mungkin juga ini disebabkan, kurang bagusnya prestasi persepakbolaan di Tanah Air, atau situasi “medan liputan” memang memaksa demikian. Contohnya kasus suap pemain, suap wasit dan yang lainnya.
Kelompok-kelompok tertentu itu ada pula yang dibentuk dengan tidak sengaja oleh kantor masing-masing, karena pimpinan maja sunting olahraga menyalurkan mereka untuk liputan khusus seperti atletik, otomotif, tinju dan sebagainya sehingga orang-orangnya di lapangan menyatu membentuk kelompok khusus.
Di antara kelompok-kelompok itu ada yang netral alias independen, meliput berbagai cabang dan terkesan “semrawut” karena minimnya peliput di lapangan sedangkan pada waktu tertentu acara olahraga banyak. Namun untuk liputan-liputan khusus, misalnya wawancara yang diprogramkan, si wartawan netral itu akan tertingggal karena kekurangan informasi akibat tidak diajak kelompok tertentu.
Terjadinya kelompok-kelompok ini, di satu sisi amat merugikan karena terjadi proses penetrasi idealisme, sebab si wartawan tidak lagi berada di tengah sebagai “polisi olahraga”, melainkan sudah berpihak sehingga titik kerunyaman dikhawatirkan terakumulasi akan “membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar”.
Namun di sisi lain, manakala bobot liputan sudah terarah dan si wartawan mampu mengakomodasikan diri mengacu pada teknis liputan, maka ia akan semakin mendalami bidang liputannya baik secara teknis maupun nonteknis.
Pimpinan meja sunting olahraga yang jeli dan berpengalaman di lapangan, biasanya mampu membca situasi di lapangan kendati tidak harus hadir. Dari membaca berita yang dibawa ai wartawan ia akan tahu kemana arah pemberitaannya dan si beberapa media tertentu biasanya si wartawan yang di lapangan akan di-“rolling” jika dipandang sudah terlalu kelewatan kedekatannya pada kelompok tokoh tertentu.
Jika kelompok itu berbau kelompok pada cabang tertentu dengan menomorduakan kedekatan pada tokohnya, akan membawa keberuntungan pada wartawan yang tugas di lapangan dan hal itu akan dirasakan sekali menfaatnya jika ada pesta olahraga multieven ataupun olahraga sejenis yang berskala internasional.
Wartawan yang biasa meliput atletik, tidak akan dikirim meliput sepakbola piala dunia, sebaliknya yang biasa meliput sepakbola tidak dikirim meliput Kejuaraaan Atletik Asia atau dunia dan yang biasa meliput otomotif akan runyam jika dikirim meliput kejuaraan bulu tangkis, kecuali jika ia sudah terbiasa meliputnya di Tanah Air.

C. SPESIALISASI
Pengelompokan wartawan olahraga pada cabang tertentu, jangan selalu diartikan negatif, karena pada sisi positifnya, jika si wartawan ingin maju, ia akan berusaha mempertebal pengetahuannya dari segi taknis.
Pada harian atau majalah umum, pengelompokan wartawan ini belum begitu terasa kendati dari isi tulisan mereka setiap hari kelihatan kecondongannya pada jenis olahraga tertentu.
Namun pada tabloid seperti BOLA, Gema Olahraga dan Otomotif, para wartawannya semakin menjurus bahkan redakturnya pun sudah terbagi menjadi redaktur umum, redaktur otomotif, sepakbola luar negeri, sepakbola dalam negeri, bola basket dan yang lainnya.
Bahkan media yang lebih khusus lagi seperti Otomotif, ada redaktur dan peliput khusus, untuk jenis olahraga nasional dan luar negeri, redaktur teknis, redaktur liputan khusus (umum) dan yang lainnya.
Redaktur atau peliput khusus wartawan yang ditempatkan di bagian manapun, tidak harus ahli (ezpert) karena banyak yang latar belakang pendidikannya tidak mengenai hal yang diliputnya, namun ia harus mengetahui seluk beluk jenis liputannya baik secara teknis maupun nonteknis.
Benny Mailili, mantan wartawan yang kini sebagai pengamat teknis, pada awalnya bukanlah atlet tenis, Arief Kurniawan (wartawan otomotif dari BOLA) yang kini sebagai komentator F1 dan GP 500 latar belakang pendidikannya dari IAIN Jakarat, Mahfuddin Nigara (wartawan GO) komentator tinju dan sepakbola di Indosiar, Hendry CH Bangun (Kompas, kini Warta Kota), Ian Situmorang (BOLA) komemtator bulu tangkis, bukanlah atlet dari keduaa jenis yang dikomentariya itu, demikian pula dengan puluhan komentator Piala Dunia 1998 dan Liga Eropa yang kerap kita saksikan di televisi itu.
Yang menarik, komentar mereka tidak jauh berbeda dengan komentator para ahli dan mantan atlet, seperti Syamsul Anwar Harahap dan Boy Bolanr (tinju), Ronny Pattinasarany, Edi Sofyan, Abdul Kadir, Bambang Nurdiansyah, Sinyo Aliandoe (sepakbola), Imelda Gunawan, Icuk Sugiarto, Ivanna Lie (bulu tangkis) maupun Chandra Alim, Didi Hardianto, Rio Sarwono dan Indrajit Sardjono (otomotif).
Kelebihan mantan atlet itu, mereka pernah merasakannya sehingga unsur pengalaman mampu diuraikan mereka dan bagi pemirsa memang terasa lebih “afdol” mendengarkan uraian para mantan atlet itu , kendati sistematis uraian para wartawan lebih menguasainya secara retorika.
Spesialisasi bagi wartawan olahraga di Indonesia belum terwujud di semua media massa, namun untuk media tertentu termasuk tabloid khusus olahraga hal itu sudah kelihatan.
Bagi media Barat, spesialisasi liputan olahraga sudah lama terwujud, sehinggga bila ada liputan internasional tidak heran jika kita bertemu dengan peliput yang itu-itu juga bahkan banyak yang sudah berusia senja.
Di cabang otomotif dengan beragam jenisnya, peliputnya pun khusus pula. Lain peliput Formula 1, lain pula peliput motocross, lain pula peliput sepeda motor Grand Prix, lain peliput reli mobil, bahkan peliput motocross 500 CC, 250 CC dan 125 CC pun peliputnya berbeda.
Di Indonesia, liputan olahraga internasional disesuaikan pimpinan meja sunting di media masing-masing dengan “pasar”, sehingga umumnya wartawan meliput acara olahraga ke luar negeri khusus untuk cabang prioritas seperti sepakbola, tinju, bulu tangkis dan tenis, di samping yang bersifat multieven seperti Olimpiade, Asian Games dan SEA Games, itupun bagi media yang mampu.
Jika cabang prioritas itu tidak ada di media, umumnya pembaca akan bertanya sedangkan jika cabang lain tidak ada pembaca jarang mempertanyakannya, ini yang saya maksud dengan penyesuaian pasar.
Untuk cabang prioritas, si wartawan akan datang sendiri mencari informasi sampai mengurus ID Card untuk liputan, namun untuk cabang tertentu yang ingin hasil pertandingan/ perlombaan disiarkan di media massa, harus mengundang wartawan dan menyiapkan segala sesuatunya untuk kepentingan si wartawan.
Contohnya, jika ada liputan olahraga otomotif di Sirkuit Sentul, maka panitia menyiapkan bus di kawasan Senayan (di depan IMI Pusat) yang akan menjemput dan mengantar wartawan, namun ada juga yang datang dengan kendaraan sendiri dan umumnya di undang.
Sedangkan lomba otomotif di luar kota, panitia akan mengundang wartawan dan menyiapkan transport, hotel akomodasi dan uang sakunya.

D. ANGGARAN TRANSPORTASI
Anggaran atau dana “tranportasi” ini selalu jadi pembicaraan runyam, bukan saja di dalam liputan olahraga, tetapi juga di bidang-bidang lain.
Anggaran “transportasi” atau uang saku biasa disediakan si pengundang jjka si wartawan diajak meliput ke luar kota atau ke luar negeri dan media besar pun akan menerimanya secara resmi.
Uang saku itu, bisa lebih kecil bisa pula lebih besar dari yang diterima wartawan dari kantor masing-masing jika ditugaskan meliput ke luar kota atau ke luar negeri. Bila si pengundang dalam undangannya menyebut akan menanggung semua kebutuhan si wartawan, maka si wartawan biasanya tidak lagi mendapatkan anggaran untuk “board & lodging” dari kantor.
Namun ada lagi yang namanya “anggaran transportasi” dalam bentuk amplop untuk acara-acara jumpa pers atau liputan pertandingan/ perlombaan, yang kerap pula dihadiri wartawan “bodreks” yang biasa pula disebut “WTS” (wartawan tanpa surat kabar), kendati anehnya terkadang ada yang memiliki surat tugas resmi.
Jumpa pers untuk pertandingan cabang prioritas pun, seperti sepak bola, tinju, bulu tangkis dan tenis, baik berskala nasional maupun internasional yang diadakan di Tanah Air, panitia umumnya menyiapkan “amplop”, tapi ada juga yang tidak. Sedang untuk liputannya, panitia biasanya tidak lagi menyiapkan uang transpor, tetapi ada juga yang menyiapkannya.
Sumber berita tertentu, ada pula yang “tersinggung” jika ada wartawan yang menolak pemberian uang transpor itu, karena dana itu sudah dianggarkan sebagai solidaritas kerja sama dengan media massa yang amat dibutuhkannya agar masyarakat mengetahui acaranya.
Tentang “amplop” ini kerap jadi masalah. Ada panitia yang menyiapkan “amplop” untuk sejumlah media yang diundang namun wartawan yang datang melebihi yang diperhitungkan, sehingga beberapa kali terpaksa yanf tidak diundang hanya mendapat cindera mata.
Wartawan dari media tertentu yang tidak diundang, ada yang “berang” dan mempertanyakan mengapa ia tidak diundang, karena ia butuh berita dan minta agar tidak ada diskriminasi, namun “amplop” kosong tetap pula dipertanyakan kendati sebagian ada yang mendiamkannya.
Tapi sebaliknya, ada wartawan dari media tertentu yang diundang hanya mengambil cindera mata dan mengembalikan “amplop”. Hal seperti ini dianggap lumrah, baik dalam temu pers maupun dalam liputan pertandingan/ perlombaan di lapangan. Rekan-rekan wartawan sendiri pun biasanya sudah mahfum, mana rekannya yang mencari berita dan mana yang mencari “amplop” dan mana pula yang mengatakan: “ada syukur” tidak ada “ya tidak apa-apa.”
Masalah “amplop” jenis yang begini, dari dahulu menjadi perdebatan “terselubung” baik bagi PWI meupun masing-masing, tidak hanya di olahraga tapi di segala pos, ada yang membenarkan secara tidak langsung tetapi ada pula yang dengan keras melarangnya bahkan ada yang dengan sanksi pemecatan.
Sebagian pimpinan madia massa, ada yang “menyamarkan” masalah ini, dengan menyebutkan, “Jangan mencari amplop di lapangan, tetapi jika ada yang memberi sejauh tidak mempengaruhi tulisan, ya terserah.” Masalah amplop ini merupakan masalah yang riskan, apalagi cara menjelaskannya pada wartawannya yang menerima amplop dalam jumpa pers atau liputan.
Masalah ini memang kembali berpulang pada media masing-masing dan kepada pribadi si wartawan. Madia menengah hingga yang kecil dengan sengaja menggaji kecil si wartawan, tentu tidak dapat berbuat banyak, sedangkan oknum wartawan dari media besar yang menerima “amplop” tentu berperang dengan nuraninya.
Ada pula media besar yang menerima “amplop” karena merasa sungkan untuk tidak menerima di depan teman-temannya. Biasany “amplop” itu diberikan kepada “bos”nya di kantor untuk dikembalikan kepada panitia pemberi atau dimasukkan ke kas yayasan yang ada di media bersangkutan.
Tentang “amplop” ini pernah diulas salah satu media massa Ibu kota, yang melalui pelacakan investigasi menuliskan besarnya nilai “amplop” dari satu departemen ke departemen lainnya.
Diungkapkan pula, asal muasal “amplop” itu datangnya dari pihak sumber berita (departemen) yang hingga kini masih ada dan ini biasanya ada kaitannya dengan biro Humas atau personil yang mengeluarkan dana, karena ada juga mengambil keuntungan dari situ.
Jika si menteri bepergian keluar kota atau mengajak wartawan, biasanya uang saku itu ditentukan berdasar “SPJ” (surat perintah jalan).
Salah seorang rekan aetengah bercanda pernah mengatakan ia mengumpulkan “amplop” perolehannya selama setahun dengan menuliskan nilai isinya di pojok amplop. Entah berapa dus amplop yang didapatnya dan entah berapa nilainya. Dan apakah ia dapat disebut “wartawan amplop”? Wallahua’lam bissowaab, namanya saja “take and giveI.” Tetapi biasanya uang amplop itu disebut rekan-rekan “uang panas” dan dalam sesaat habis pula.
Dalam liputan-liputan olah raga diluar negeri,,tidak pernah ada panitia yang memberikan dana amplop, kecuali semacam suvenir, misalnya kaos dan pulpen. Ada ikatan- ikatan tartentu antara penyelenggara pertandingan dengan organisasi semacam SIWO , namun tidak ada pemberian uang di lapangan , keccuali jika wartawan diajak meliput ke luar negeri.
Di salah satu negara , pernah sekelompok wartawan merasa heran, ketika salah seorang tokoh olah raga Indonesia memberikan uang setelah wawancara, dalam bentuk dolar lagi. Sempat malu juga ketika ada yang bertanya, “Apakah di Indonesia setiap wawancara dikasih uang?” Terhadap pertanyaan seperti ini, pintar-pintarlah menjawabnya.
Malah seorang tokoh asing dari perusahaan tertentu yang datang ke Indonesia untuk menyeponsori salah satu pertandingan, sempat terheran-heran kepada panitia ketika dalam anggaran tercantum sektor dana unruk wartawan itu. Ia mengangguk-angguk ketika disebutkan itu hanya untuk mengganti bahan bakar kendaraan meraka yang datang meliput.
Terkadang, dalam situasi tertentu, tentang amplop ini dianggap wajar. Contohnya, jika ada acara perlombaan yang dianggap media bukan cabang prioritas, tidak ada beritanya pun pembaca tidak akan bertanya, tetapi si empunya acara ingin beritanya ingin dimuat, maka mau tak mau amplop harus disiapkan terlebih bila acara itu “berbau promosi”. Si wartawan pun selalu agak enggan karena rekan atau bosnya di kantor membaui berita itu ada “isinya”.

E. KEPERCAYAAN SUMBER BERITA
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup prang tidak percaya. Pepatah itu tampaknya tidak lekang si panas dan tak luntur di hujan jika dikaitkan dengan masalah apapun, selagi hayat di kandung badan.
Demikian pula halnya dengan profesi wartawan. Jika “track record” si wartawan sekali saja “tercoreng” maka akan selamanya diingat orang dan setiap tindakannya yang baik pun selalu dikait-kaitkan dengan masa lalunya yang pernah dicap negatif.
Kepercayaan sumber berita harus tetaap dijaga dan dipelihara wartawan. Kepercayaan sumber berita dalam hal ini, berkaitan dengan materi pemberitaaan dan kejadian peristiwa, baik menyangkut si sumber berita atau personal lain yang menyangkut etika.
Bukan maksud saya mau membongkar-bongkar kasus atau peristiwa lama, namun peristiwa ini pernah terjadi dan semoga tidak terulang lagi di masa ini dan di masa mendatang.
Ketika wartawan olahraga di satu tempat akan menyelenggarakan pemilihan atlet terbaik dari berbagai cabang, ada seorang tokoh menawarkan sejumlah uang agar ia terpilih sebagai atlet terbaik si cabang yang ditekuninya. Setelah ia terpilih, terbongkar pula permasalahannya, bahwa sejumlah wartawan telah kena “sogok” dan si antara wartawan itu masih ada yang bekerja di salah satu media hingga kini.
Permasalahan yang menyangkut moral ini jadi pembicaraan di kalangan pers dan sumber berita yang mengetahuinya, telebih dari cabang di mana si atlet terpilih sebagai yang terbaik.
Sumber berita lainnya, tidak percaya lagi pada beberapa wartawan yang terlibat dalam masalah itu dan hal itu menimbulkan preseden yang tetap diingat dalam setiap pemilihan “yang terbaik”, karena akibat nilai setitik, rusak susu sebelanga.
Dewasa ini, sistem pemilihan tokoh dan atlet terbaik itu diubah, dengan cara mengambil suara tertulis dari tiap media, berdasarkan pengamatan masing-masing dengan kriteria yang ditentukan,
Untuk menumbuhkan kepercayaan sumber berita pada si wartawna, membutuhkan waktu yang cukup lama, baik dari kalangan tokoh, pengurus olahraga ataupun atletnya.
Biasanya, kualitas wartawan pun menentukan. Semakin bermutu tulisan atau analisis si wartawan, semakin diakui ia di kalangan cabang yang ditekuninya maupun dari kalangan rekan-rekannya seprofesi.
Membina dan menjaga kepercayaan sumber berita ini, ada kaitannya secara lengsung dan tidak langsung dengan masalah “disiplin-sopan jaga jarak” yang sebelumnya sudah saya tuliskan pada bab terdahulu. Komitmen moral terhadap diri sendiri, dalam arti apakah akan terus menekuni profesi wartawan, agar nama tidak tercoreng, merupakan pegangan hidup bagi wartawan.
Komitmen moral dalam berita-berita olahraga, juga selalu dikaitkan dengan dengan masa depan si atlet. Misalnya, jika si atlet kalah dalam satu pertandingan, tiak semestinya ia “dihajat” habis-habisan sehingga si atlet secara moral akan “jatuh” padahal masa depan prestasinya sebenarnya masih dapat diperbaiki.
Petenis Yayuk Basuki pernah berang dengan wartawan, karena ada yang menuliskannya ia kalah dalam satu pertandingan di luar negeri karena ibunya sedang sakit di Yogyakarta.
“Keluarga saya di Yogya marah-marah pada saya membaca berita itu. Padahal saya tida ada mengatakan hal itu pada wartawan,” kata Yayuk beberapa tahun yang lalu.
Wartawan olahraga, seperti selalu dikatakan Ketua Umum KONI Pusat Wismoyo Arismunandar, adalah juga salah satu tiang penyangga olahraga Indonesia, sebagai pembina atlet dari segi moral.
“Jadi wartawan olahraga tidak asal serang. Tapi harus mampu menunjukkan di mana kelemahan si atlet atau organisasi dan berusaha memberi jalan perbaikannya menuju jenjang prestasi yang kita inginkan. Harus kita ingat, kemajuan olahraga nasional adalah juga menunjukkan kekuatan bangsa dan negara di mata internasional,” kata Wismoyo.
“Bahkan seorang atlet pun bisa jadi duta bangsa di luar negeri. Dunia luar akan melihat, masih ada atlet Indonesia yang mampu berprestasi tinggi di masa krisis yang berkepanjangan di Tanah Air,” kata Wismoyo ketika menerima pembalap Formula 3 Ananda Mikola bersama orang tuanya, Tinton Soeprapto, di kantonya, awal November 1998.
Bahkan pada tahun 1999, Ananda mendapat piagam sebagai Duta Pariwisata dari pemerintah melalui Menteri Pariwisata Seni dan Budaya Marzuki Usman, karena peranan yang cukup aktif mengenalkan Indonesia di luar negeri.”


Pada tingkat menengah wartawan akan mengalami :
- Cepat menganalisa kejiwaan sumber berita (secara tidak langsung mempelajari psikologi terapan.
- Mampu membidangi suatu masalah, bisa karena biasa.
- Secara tidak langsung larut dalam kelompok. Bisa dalam arti negatif atau posiyif. Negatif, karena bersekongkol dengan sumber berita. Positif, paham akan bidangnya dan akan dicari sumber berita.
- Dihadapkan pada komitmen moral tentang “amplop”.
- Akan terus jadi wartawan? Jagalah kepercayaan sumber berita.
(BERSAMBUNG)

PERNIK LIPUTAN OLAHRAGA (1) Oleh A.R. LOEBIS

PERNIK MELIPUT OLAHRAGA

A.R. LOEBIS

Cetakan pertama (2002)


DAFTAR ISI

- Pengantar
- Kata Sambutan

BAGIAN PERTAMA

PERNIK-PERNIK AWAL

A. Pengetahuan Dasar
- Penguasaan Materi
- Penguasaan Bahasa
- Teknik Jurnalistik
B. PENGALAMAN PERTAMA
- Membandingkan Berita
- Cek dan Ricek
- Perlu Banyak Sahabat
C. DISIPLIN SOPAN JAGA JARAK
- Disiplin
- Sopan
- Jaga jarak
D. FISIK KUAT
E. KEMAUAN KERAS
F. PENGERTIAN KELUARGA
G. KLIPING PRIBADI
H. KE LUAR NEGERI
I. SIWO PWI

BAGIAN KEDUA

PERNIK MENENGAH

A. PSIKOLOGI TERAPAN
B. KLIK DAN KELOMPOK
C. SPESIALISASI
D. ANGGARAN TRANSPORTASI
E. KEPERCAYAAN SUMBER BERITA

BAGIAN KETIGA

A. PERGESERAN VERFTIKAL DAN HORISONTAL
B. BATU LONCATAN

BAGIAN KEEMPAT

A. TULISAN LEPAS

- Dari Athena ke Palembang
- Dll

B.

Bagian Pertama

PERNIK AWAL

Kalau beberapa tahun lalu ada yang mengatakan siapapun dapat jadi wartawan olahraga, maka dalam lima sampai sepuluh tahun belakangan ini kata-kata itu berubah menjadi tidak semua orang bisa atau gampang menjadi wartawan olahraga.
Mengapa? Hingga awal tahun 90-an, banyak wartawan yang diterima pada beberapa penerbitan pers yang hanya lulusan SMU atau sarjana muda (D3), namun belakangan ini hampir semua penerbitan pers hanya menerima calon wartawan minimal mereka yang sudah mengantungi ijazah S1.
Setelah melalui beberapa tingkat penyaringan, para calon wartawan lalu mendapat pendidikan di kantor yang menerimanya dan kalau di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA disebut Suspade (Kursus Pendidikan Dasar Pewarta) yang digembleng selama enam bulan.
Setelah itu mereka umumnya masih dalam tingkat percobaan selama tiga bulan, bahkan di banyak perusahaan yang menerima wartawan baru masih menyodorkan surat perjanjian kontrak selama beberapa tahun.
Ini terjadi, karena beberapa tahun lalu kerap terjadi eksodus perpindahan calon wartawan yang “sudah mulai jadi wartawan” itu ke kantor lain, baik yang masih berkaitan dengan pers maupun bergerak di bidang lain.
Para calon wartawan yang sudah lulus “penggemblengan” itu, setelah mulai berkiprah di bidangnya, tampaknya selalu mendapat iming-iming dari perusahaan lain yang umumnya menawarkan penghasilan yang lebih tinggi, terlebih ketika beberapa tahun lalu televisi swasta mulai bermunculan.
Sekitar tujuh-delapan tahun lalu, sebenarnya kisah perpindahan wartawan ini sudah mulai terjadi sehingga konon ada “on-line” antara para pejabat tinggi media satu dengan yang lainnya yang mengikrarkan “gentlemen agreement” agar jangan saling “bajak” wartawan yang “sudah jadi”.
Begitu media elektronika berupa televisi swasta mulai muncul, kisah perpindahan wartawan ini semakin menjadi-jadi, tambahan pula media cetak banyak yang baru terbit atau media lama dengan manajemen baru atau SIUPP lama yang dihidupkan kembali, maka semakin menjadi-jadilah kisah perpindahan wartawan/ karyawan pers itu.
Ketika Menteri Penerangan Muhammad Yusuf Yosfiah (1999) membuka “kran” pengurusan SIUPP, puluhab media baru bermunculan, termasuk media partai politik, sedangkan yang dahulu SIUPP-nya dicabut terbit kembali.
Penerbitan media massa di Tanah Air pun menunjukkan trend meninkat, dimana salah satu media besar mulai “memakan” media kecil sehingga lahir grup-grup media besar seperti Grup Kompas (Gramedia), Grup Jawa Pos, Grup Media Indonesia, Grup Bakrie yang “tangannya” berupa anak perusahaan menjalar ke daerah-daerah dengan menerbitkan atau “membeli” koran daerah.
Perusahaan-perusahaan media baru tiu, mungkin merasa lebih efisien “membajak” wartawan yang sudah jadi atau mungkin tidak punya waktu mendidik wartawan baru, sehingga banyak wartwan baru bahkan yang lama pindah ke perusahaan lain. Ini yang membuat banyak perusahaan pers mengadakan ikatan kontrak bagi wartawan baru yang dididiknya.
Dalam 10 tahun terakhir, banyak berdiri industri media massa yang didukung para konglomerat, misalnya televisi swasta saja sudah ada enam stasiun, belum lagi media cetak yang resmi ataupun media cetak yang beredar di pasaran dengan hanya bermodal surat tanda terbit (STT) alias tanpa SIUPP, padahal sebenarnya sebelumnya hal itu tidak dibenarkan DEPPEN.
Bagi industri pers, hal ini menimbulkan persaingan tajam sedangkan bagi pengelolanya merupakan lahan yang subur untuk menaikkan tingkat penghidupannya dan terjadi juga “pembajakan” untuk tingkat atas sementara bagi pencari kerja yang baru lulus pendidikan tinggi terbuka kesempatan untuk memulai mencari nafkah sedangkan bagi konglomerat yang mendukung dananya tentu lain pula motivasi dan tujuannya.
Jadi jangan heran kalau kita bertanya kepada wartawan, banyak yang mengatakan tidak menyangka akan menjadi wartawan, karena sebelumnya ia hanya coba-coba saja melamar begitu membaca iklan di koran-koran. Tidak pada tempatnya pula membanding-bandingkan wartawan tempoe doeloe semisal Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Adam Malik, Sipahutar, dan yang lainnya dengan wartawan zaman sekarang, karena misi dan motivasinya sudah jauh berbeda.
Nah, sejarah menorehkan catatannya, sejak pertengahan 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang berpengaruh di segala sektor perekonomian bangsa mulai dari tingkat paling tinggihingga yang paling rendah, termasuk pula industri media massa.
Harga kertas yang melambung 300 persen membuat industri pers “Senin Kamis” dan melakukan efisiensi di segala bidang, mulai dari pengurangan dan penciutan halaman, pengurangan oplah, pembatasan liputan luar negri, memberi kesempatan pensiun muda, PHK bagi yang masih dikontrak dan lain sebagainya.
Dampak krisis keuangan negara ini tentu akan dapat dianalisa beberapa tahun lagi khususnya di industri/ perusahaan media massa yang tentu juga akan berdampak pada segi liputan dan arah pemberitaan di tiap media massa.
Kendati demikian, dengan munculnya sistem multipartai di Indonesia, menjelang Pemilu 1999, ratusan SIUPP baru muncul. Ada 1200 lebih koran, baik berupa harian maupun tabloid dan majalah, yang terbit di berbagai daerah. Wartawan baru dan “dadakan” bermunculan, sementara institusi yang memayunginya semakin banyak.
Selain PWI, terbentuk pula institusi lain seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Elektronik / Televisi, semacam himpunan pers Islam, dan sebagainya.
Motto bagi para wartawan pun bisa jadi akan berubah mulai dari “semua orang bisa menjadi wartawan” menjadi “tidak semua orang bisa menjadi wartawan” dan kemudian “susah menjadi wartawan”, bisa jadi berubah menjadi “gampang menjadi wartawan”. Namun yang pasti saat ini, tidak semua orang dapat menjadi wartawan olahraga, karena persyaratan dasarnya untuk melamar menjadi wartawan secara formal minimal mengantungi ijazah S1.

Pergeseran disiplin akademis
Seperti disinggung pada awal tulisan ini, banyak wartawan yang mengaku tidak sengaja menjadi wartawan. Ia hanya melamar kerja berdasar iklan di koran, kemudian dipanggil, ditest, pendidikan dan terjun dilapangan. Ia pun menyandang predikat wartawan.
Sekadar contoh saja yang menyandang predikat wartawan di bidang umum, antara lain wartawan KOMPAS Ninok Leksono yang sudah menyandang gelar doktor, antropolog Rudi Badil, sarjana sastra Hendry CH Bangun, sarjana jebolan IPB Suyopratomo, Irving Noor (psikologi/ filsafat) Rudy Novrianto (insinyur) dari Tempo kini Gatra, Albert Kuhon (insinyur) di KOMPAS pindah ke Suara Pembaruan dan kini di SCTV, Yudono (sarjana arkeolog) pernah di meja sunting olahraga ANTARA dan pindah ke Koran TEMPO, Atman Achdiyat sarjana sastra kini (2001) jadi kepala meja sunting olahraga ANTARA dan lain-lain yang tidak akan habis-habisnya disebutkan disini.
Setelah lulus pendidikan baik teori maupun praktek, biasanya para wartawan baru itu ditempatkan pada pos tertentu, misalnya di departemen-departemen dan umumnya masih didampingi seniornya.
Beberapa media ada pula yang melakukan “rolling” dengan memutar para wartawan baru itu dari satu departemen ke departemen lain atau dari satu bagian (desk/meja) yang satu ke meja lainnya.
Wartawan yang masih baru (fresh) itu diputar dalam tempo beberapa bulan dari desk ibukota ke desk nasional atau ke desk internasional, desk ekonomi atau desk olahraga atau desk lainnya sesuai dengan pembagian tugas yang biasanya berbeda dari satu media dengan media lainnya seperti di Pos Kota, misalnya ada desk kriminalnya dan di KOMPAS ada desk “feature”.
Para “mentor” tiap wartawan atau para kepala meja sunting (desk) atau pimpinan redaksi atau pejabat lain baik yang struktural maupun yang fungsional, biasanya dapat memantau sekaligus membedakan bakat, ketrampilan, keseriusan, kecakapan para pendatang baru di kantor mereka itu sekaligus melihat di desk mana ia cocok ditempatkan. Saat praktek lapangan saja, biasanya sudah dapat dipantau kepiawaian wartawan baru itu, si A begini, si B begini, si C begitu, dan si D begitu, dan sebagainya.
Setelah waktu berjalan, si wartawan ditempatkan pada pos tertentu (departemen tertentu) atau di kepolisian, di Hankam, di pengadilan di bidang luar negri dengan spesialisasi Timur Tengah, ASEAN, dan lain sebagainya. Di bidang olahraga pun, lambat laun si wartawan juga terbagi dalam liputan cabang tertentu karena banyaknya cabang dalam olahraga.

A.PENGETAHUAN DASAR
Minimal ada tiga tiang utama yang harus disikapi para calon wartawan,walau dimanapun ia diposkan,yaitu 1.Penguasaan materi, 2.Pengetahuan bahasa dan 3.Pemahaman teknik jurnalistik
Ketiga bentuk dasar inilah yang umumnya paling ditekankan bagi para calon wartawan dalam setiap pendidikan yang diadakan di kantor-kantor media masa, terlebih untuk menyatukan persepsi manakala calon wartawan itu berdatangan dari disiplin ilmu yang berbeda.
1. Penguasaan materi
Wartawan umumnya bukanlah seorang ahli (expert) di bidang khusus namun ia dapat mendalami segala sesuatu dengan cara membaca, karena membaca adalah guru yang baik. Ia dapat membaca apa saja yang berkaitan dengan bidangnya maupun yang bukan bidangnya terutama masalah yang paling aktual yang terdapat di koran setiap hari
Manakala si wartawan mulai menekuni salah satu bidang, misalnya ekonomi, politik, seni budaya, masalah lingkungan, olahraga, dan sebagainya maka umumnya setiap ia membuka koran ia langsung melihat halaman yang berkaitan dengan bidangnya.
Namun jika si wartawan berasal dari disiplin ilmu ekonomi meliput bidang ekonomi, maka tentu ia akan lebih menguasai bidang liputannya, namun bukan tidak mungkin wartawan yang bukan dari bidang ekonomi mampu meliput ekonomi. Misalnya ketika istilah Currency Board System (CBS) muncul saat krisis ekonomi di Indonesia, walaupun sebelumnya tidak pernah mendengar istilah itu, bisa saja si wartawan dengan cepat menguasainya dengan jalan membaca di perpustakaan dan bertanya pada para ahlinya,
Dalam bidang olahraga, misalnya untuk liputan sepak bola, maka si wartawan harus mengetahui istilah-istilah dalam cabang itu, seperti “off-side”, tendangan penalti, tendangan pojok, mengapa wasit mengeluarkan kartu kuning atau kartu merah, “tackling from behind”, “injury time”, “sudden death” seperti diterapkan di Piala Dunia 1998 dan lain sebagainya yang berkaitan dengan segi teknis.
Si wartawan juga sepantasnya mengetahui dan mengenal para pemain khususnya pemain di Indonesia, mengenal pelatih, manajer tim, wasit dan tokoh yang terlibat langsung untuk urusan pertandingan, karena berita yang baik harus disisipi dengan wawancara dengan personil tertentu setelah pertandingan usai.
Khusus di Indonesia, tak kalah menarik, adalah organisasinya (PSSI) yang kerap dibilang lebih banyak beritanya ketimbang pertandingannya. Si wartawan harus mengenal, minimal wajahnya, seperti Ketua Umum Azwar Anas (sekarang Agum Gumelar), Sekjennya dan yang lainnya termasuk yang bertanggung jawab di bidang organisasi, perwasitan, pertandingan, badan tim nasional, termasuk para kolumnis yang selalu berdialog dengan para wartawan di Senayan.
Kendati tidak pernah bermain bola, si wartawan yang lama menekuni sepak bola, akan mampu pula menuliskan analisa mereka tentang satu pertandingan. Ini membutuhkan waktu lama dan keseriusan, karena si wartawan harus tahu tentang bentuk susunan pemain dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya.
Dalam pertandingan yang lalu, misalnya pelatih measang si A di barisan penyerang namun dalam pertandingan lainnya tiba-tiba ia ditarik ke barisan tengah atau malah ke barisan bertahan di bawah. Apa maksud si pelatih dan bagaimana kinerja si atlet? Atau mengapa dalam pertandingan melawan tim lain ia memasang konfigurasi 4:3:3 bukan 3:4:3 atau 3:3:4?
Umumnya wartawan yang serius, tidak hanya datang di lapangan, menonton, pulang ke kantor, apalagi jika kompetisi sedang berjalan. Ia akan datang ke markas pemain yang satu serta yang lainnya, melakukan wawancara, berdialog dengan pembina dan pemain dan sebagainya, malah ada yang melakukan analisa kejiwaan si pemain saat akan bertanding.
Semakin tinggi kemauan si wartawan, semakin tinggi rasa ingin tahunya dan semakin luas cakrawala pandangannya. Ia pun tahu pula tentang tim sepakbola asing, nama pemain, pelatih, dan manajer timnya serta pemain A berada di barisan mana. Si wartawan sebaiknya tahu nama semua pemain di Liga Inggris, Italia, Jerman, dan dari klub mana ia berasal.
Ronny Pangemanan wartawan Suara Pembaruan (kini menangani majalah Liga Eropa) yang sejak sebelum jadi wartawn memang sudah menyukai sepakbola asing, kini dengan lancar membuat prediksi di layar televisi sebagai komentator. Karena kerap meliput, ia pun banyak dikenal wartawan asing bahkan pernah memenangkan lomba prediksi sebelum tanding di luar negri sehingga pers asing acung jempol padanya. Demikian pula dengan Lilianto Apriadi (BOLA), Herdimen Koto (GO), Yesayes Octavianus (KOMPAS) dan yang lainnya.
Jika si wartawan ogah-ogahan? Maka ia hanya membuat laporan kalah menang, pencetak gol, menit ke berapa sehingga beritanya kurang berwarna. Ini hanya satu contoh di cabang sepakbola, padahal cabang olahraga di Indonesia dan dunia ini puluhan banyaknya.
Coba bayangkan apa yang terjadi ketika sang wartawan yang belum bisa meliput olahraga tiba-tiba disuruh meliput pertandingan karate, kempo, judo, senam, renag, bulu tangkis, tenis meja, tenis lapangan, bola basket, golf, catur, tenis dinding, softball, sepak takraw, tinju amatir, tinju pro, atletik, dan yang lainnya.
Belum lagi di cabang lain yang mengacu pada prinsip profesional seperti otomotif yang jenisnya macam-macam seperti reli mobil, Formula 1, slalom test, motocross, grand prix sepeda motor, supercross, superbike, drag race, indy car, dan yang lainnya.
Kalau dikumpulkan, mungkin ada ribuan istilah teknis, dan istilah lomba/ pertandingan semua cabang olahraga itu. Memang yang paling utama dalam menulis berita olahraga adalah kalah menang, karena prinsip cabang liputan itu adalah menyaksikan dan melaporkan siapa yang kalah, dan siapa yang menang.
Tapi prakteknya tidak segampang itu. Penulis sendiri saat pertama kali terjun dalam liputan sepakbola, pernah diundang Ketua Umum PSSI Kardono saat meninjau pembinaan klub di satu daerah. Dalam pesawat, suasana hening karena saya tidak tahu apa yang mesti saya tanyakan, karena materi tentang sepakbola dan organisasi saya saat itu buta sama sekali.
Juga ketika pertama kali ikut Menpora Abdul Gafur (ketika menjabat Menpora) ke Bandung. Juga hening karena tidak tahu apa materi yang akan dibicarakan.
Ketika pertama kali diajak rekan Oloan Sitompul (MC lomba Otomotif) ke rumah pembalap Tinton Soeprapto, jua hening karena saya tidak tahu mau menanyakan apa. Ketika pertama kali ke luar negri, malah lebih buta, jangankan atlet dan tokoh asing, atlet Indonesia sendiri saya tidak kenal. Namun pengalaman pertama saya meliput olahraga di Indonesia banyak membantu saya sehingga kerunyaman sedikit sirna. Pengalaman pertama saya ceritakan di bagian lain di buku ini.

Penguasaan bahasa
Penguasaan bahasa ini menyangkut Bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bagi wartawan olahraga, pekerjaan utama adalah memindahkan “drama” pertandingan di lapangan dalam bentuk laporan tertulis, beda dengan media elektronik yang sudah menyuguhkan gambarnya langsung secara visual.
Alat utama untuk menyampaikan laporan itu adalah bahasa, dalam hal ini adalah Bahasa Indonesia karena medianya berbahasa nasional.
Walaupun sejak kecil kita mengeluarkan kata-kata menggunakan bahasa Indonesia, namun untuk menyampaikan laporan kita dalam bahasa Indonesia bukan merupakan pekerjaan gampang.
Kendati seorang sarjana sastra Indonesia atau yang menekuni linguistik sekalipun, belum tentu dapat menulis berita dalam Bahasa Indonesia, karena bahasa berita (olahraga) berbeda dengan bahasa kertas kerja, bahasa artikel, bahasa novel, bahasa ilmu pengetahuan, dan gaya bahasa olahraga berbeda pula dengan gaya behasa berita ekonomi, politik, seni budaya, dan ilmu pengetahuan.
Jadi penguasaan bahasa dari yang paling dasar, seperti pembentukan kalimat (subjek, predikat, objek), ejaan yang disempurnakan (EYD) yang menyangkut tata bahasa, si wartawan harus menguasainya. Namun kenyataannya, hingga sekarang EYD yang diresmikan pemerintah pada 1972 itu saja masih banyak yang berlepotan jika kita membaca koran dan majalah.
Tiap media biasanya memiliki “buku putih” atau di ANTARA disebut “style book” untuk menyeragamkan berbagai istilah atau penulisan sesuatu, misalnya, nama negara, pengalihan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia dan tentu saja gaya penulisan berita mulai dari teras berita (lead) dan yang lainnya.
Selain menguasai bahasa sendiri, wartawan sebaiknya mengusasa minimal Bahasa Inggris yang digunakan secara internasional. Di beberapa media besar termasuk ANTARA, setiap wartawan olahraga dituntut mengetahui bahasa Inggris, walaupun pasif, karena selain meliput di lapangan, wartawannya menerjemahkan berita olahraga dari kantor berita transnasional seperti dari Reuters dan AFP serta berbagai kantor berita asing lainnya dan hasil terjemahan itu ditransmit ke hampir seluruh media Indonesia yang berlangganan.
Dibanding dengan wartawan lain, peliput olahraga juga paling memiliki kesempatan ke luar negeri karena banyaknya even olahraga yang diikuti Indonesia di luar negeri. Selain itu, kerap pula tim asing datang ke Indonesia, sehingga untuk berkomunikasi mau tak mau harus menggunakan bahasa Inggris.
Untuk cabang-cabang tertentu atau saat berlangsung multi even seperti SEA Games, Asian Games, Olimpiade, maka hasil pertandingan dan siaran pers yang ada di balai media (press centre) umumnya Bahasa Inggris dan kalau di cabang otomotif dilengkapi dengan bahasa Prancis. Demikian pula dengan sumber-sumber informasi yang ada di komputer. Maka jika ingin “tune in” dengan liputan, maka si wartawan harus mengerti bahasa Inggris.
Faktor bahasa memang kerap menjadi hambatan bagi wartawan yang ingin berwawancara. Banyak atlet dalam pertandingan multi even yang tidak dapat berbahasa Inggris, misalnya dari Cina, Thailand, Korea, dan beberapa negara lainnya. Panitia menyiapkan penerjemah yang juga berfungsi sebagai penghubung (LO), namun bahasa yang digunakan LO tadi ya tetap Bahasa Inggris. Si LO menerjemahkan ke bahasa Cina jika atletnya Cina dan jawaban si atlet diberitahu kepada wartawan dalam bahasa Inggris

Teknik jurnalistik
Buku teknik jurnalistik mungkin ratusan jumlahnya dan teori-teori yang diterapkan berkembang terus, namun prinsip dasarnya tetap sama yaitu bagaimana cara menginformasikan sesuatu kepada masyarakat dengan cara paling mudah dan sesederhana mungkin.
Teori penyampaian informasi ini biasanya digambarkan seperti “piramida terbalik”, artinya yang disampaikan paling awal adalah yang paling penting baru yang penting dan kurang penting.
Maksudnya supaya pesan yang ingin disampaikan agar langsung diketahui masyarakat, selain itu agar penyunting (editor) di meja masing-masing dapat memotong berita dengan tidak merusak inti berita, karena halaman koran terbatas untuk menampung berita yang panjang.
Dalam membuat berita olahraga, tentu yang paling penting adalah hasil lomba, namunini bisa berubah seandainya dalam pertandingan itu terjadi perkelahian atau stadion tumbang atau hal-hal lain yang dianggap “lebih menarik” sehingga hasil pertandingan dapat dinomor-duakan.
Dalam pertemuan menteri tingkat ASEAN, atau KTT Non-Blok atau Organisasi Konferensi Islam atau pertemuan presiden dengan pihak IMF dan lain sebagainya, si wartawan harus mengetahui agenda pertemuan atau hal menarik apa yang dibicarakan. Hal-hal menarik lain yang sedang “hangat” dapat pula ditanyakan si wartawan dalam wawancara khusus (eksklusif) dengan sumber berita tertentu.
Jika si wartawan tidak menguasai materi pertemuan termasuk latar belakang mengapa pertemuan itu diadakan, tentu tidak akan menghasilkan berita yang bagus atau yang diharapkan untuk melakukan wawancara, kembali si wartawan harus menguasai bahasa internasional (bahasa Inggris) dan kalau ada konferensi pers seusai pertemuan biasanya juga pakai bahasa Inggris.
Jika seorang tokoh Indonesia menghadiri pertemuan di luar megeri, biasanya si tokoh pun mengadakan temu pers bagi wartawan Indonesia dan tentu saja dalam bahasa Indonesia. Tetapi bila si wartawan kurang memahami masalah apa yang hangat atau perlu, susah pula ia menuliskan berita atau mengangkat teras berita (lead), sehingga untuk judul berita pun bisa-bisa sampai keringatan tidak juga muncul dari otaknya.
Makanya kepada si wartawan baru, (biasanya teori ini dipelajari di perguruan tinggi yang menjurus kepada jurnalistik) diberikan pengertian perlunya memahami “5W1H” yang berarti what (apa), why (mengapa), when (kapan), who (siapa), where (dimana), dan how (bagaimana).
Keenam unsur itu merupakan inti materi pemberitaan dan dari salah satu unsur itu pula yang dapat diangkat menjadi teras berita sesuai dengan apa yang akan diinformasikan.
Contoh sederhana, si wartawan meliput sepak bola (what), berlangsung di stadion utama senayan (where), antara PSMS lawan Persib (who) dalam rangka kompetisi Perserikatan (why) hari Kamis (when) yang berlangsung menegangkan (how).
Teknik penulisan berita ini diutamakan dalam membuat berita lempang (straight news) namun keenam unsur itu tetap “bermain” dalam penulisan artikel, tentu saja dengan teknik yang berbeda.
Si wartawan berdasarkan pandangan mata dan fakta yang terjadi, melukiskan “drama” pertandingan di lapangan selama 2 x 45 menit termasuk wawancara, hanya dalam 1000 kata, atau 750 kata atau 500 kata dengan mengangkat teras berita yang paling tepat, akurat, lugas agar sampai kepada pembaca kendati penyunting memotongnya di bagian bawah.
Atau bagaimana jika kepala meja sunting (desk) menyediakan beberapa kolom untuk berita yang diliputnya karena memprediksikan pertandingan “hangat” karena merupakan final antara dua tim bebuyutan? Si wartawan harus siap membuat berita panjang tapi tidak bertele-tele, berarti bahan beritanya harus lebih banyak dan akurat.
Teknik jurnalistik ini merupakan bidang studi khusus yang di dalamnya juga termasuk teknik wawancara, teknik menyunting, dan teknik-teknik lainnya yang tidak akan kita bicarakan disini.
Dari uraian singkat ini tergambar bahwa “menu” utama seorang calon wartawan baik di bidang apapun, terutama di bidang olahraga, harus menguasai tiga bahasan tadi, yaitu menguasai dan mendalami materi, perlunya menguasai bahasa serta mengerti teknik jurnalistik.

B.PENGALAMAN PERTAMA
Ketika saya masuk LKBN ANTARA sekitar tahun 1981, saya mendapat pendidikan dasar jurnalistik secara umum selama enam bulan, kemudian dilanjutkan dengan praktek di lapangan. Sekitar beberapa bulan saya jadi pewarta, kemudian ditempatkan di bidang suntingan berita luar negeri berbahasa Inggris. Di sini tugas saya mulai dari membuat huruf besar huruf kecil, memotong berita, menyambung berita dari satu kantor berita asing dengan kantor berita asing lainnya.
Tidak sampai setahun, saya diminta membantu meja sunting (Mjs) olahraga, karena saat itu di bidang olahraga kekurangan tenaga.
Baru duduk di situ dua hari, saya diminta kepala Mjs olahraga meliput kejuaraan nasional (Kejurnas) renang di kolam renang Senayan.
“Wah gawat nih,” saya nyelutuk dalam hati saat itu. Saya tidak pandai berenang bahkan masuk ke kolam renang saja belum pernah.
Bos saya saat itu, Noordin Tambunan (kini sudah pensiun), hanya mengingatkan, “Lihat-lihat nanti apakah ada pemecahan rekor nasional.”
Saya sedikit “kesal” mengapa saya waktu kecil di kampung halaman dulu “dipingit” sehingga tidak boleh berenang di sungai bersama teman-teman. Kalau saya bisa berenang, minimal saya tidak terlalu merasa asing dengan cabang yang akan saya liput ini.
Pukul 13.30 WIB saya sudah tiba di kawasan kolam renang Senayan walaupun perlombaan baru dimulai pukul 16.00 WIB. Saya duduk di bawah pohon meredakan keringat yang mengucur. Maklumlah dari kantor naik bus kota dan dari depan Polda Metro harus menyeberangi jembatan dan dari Pintu I jalan lagi ke kolam renang yang lumayan jauhnya.
Kemudian saya ngobrol-ngobrol dengan petugas kebersihan yang usai menyapu halaman pelataran kolam renang. Saya tanya-tanya tentang renang dan perenang yang dikenalnya. Ia senang karena ada teman istirahat sembari minum the botol dan merokok. Saya malah bertanya apakah ia pernah membaca berita tentang renang dan ia menggeleng.
Hal yang lucu jika saya pikir-pikir sekarang, saya malah bertanya kepada petugas kebersihan itu bagaimana cara membuat berita lomba renang. Ia heran dan bertanya apakah saya wartawan dan saya terpaksa menggeleng mengikuti gelengannya.
Tidak lama kemudian orang-orang mulai banyak berdatangan. Tidak ada penjaga pintu dan saya terus menerobos serta bertanya dimana menemui Bapak Dedeng Kurnia, salah seorang pengurus PB Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) seperti diberitahu bos saya.
Saya diterima di kantor sekretariat. Kertas-kertas bertaburan, sebagian bertumpuk-tumpuk rapi. Pak Dedeng yang gemuk pendek bertanya kabar bos saya yang rupanya kenal dekatnya. Ia pun memberikan jadwal lomba serta daftar nama peserta lomba.
Ia kelihatan sibuk dan meminta saya menonton di luar karena perlombaan tingkat nasional itu akan dimulai. Saya tidak bisa lagi bertanya-tanya dan kemudian saya menonton dari salah satu tribun penonton.
Penonton amat minim, kelihatan sebagian mereka hanya keluarga atau teman-teman si perenang.
Perlombaan pun dimulai dari satu gaya ke gaya yang lain, diawali dengan babak penyisihan. Di kejauhan saya lihat seoranh pria bertopi sedang mencatat-catat. Mungkin ini yang namanya wartawan olahraga, pikir saya dan tergerak untuk berkenalan.
Dari jarak beberapa meter saya menyaksikannya dari belakang, belum berani menegurnya karena ia kelihatan sibuk. Ketika tangannya sedang tidak repot, saya menyapanya dan mengatakan saya dari ANTARA. Ia berujar dari Suara Karya dan namanya Atal S. Depari, itulah wartawan olahraga pertama yang saya kenal.
“Tidak usah repor-repot nanti catatan hasilnya ada di sekretariat,” kata Atal, yang dalam perjalanan karirnya menjadi ketua Siwo DKI Jaya, beralih kerja ke tabloid Gema Olahraga (GO) dan kemudian menjadi pimpinan redaksi Sinar Pagi beralih menjadi Wakil Pemimpin Umum/ Pimpinan Redaksi Tabloid Dinamika, kemudian jadi pemimpin umum/ pemimpin redaksi harian Berita Kota dan Ketua Departemen Olahraga PWI Pusat.
Dari hasil lomba yang ada di sekretariat, saya lihat ada beberapa perenang yang memecahkan rekor nasional. Itulah yang saya buat menjadi judul serta teras berita. Keesokan harinya bos saya, Noordin Tambunan, berkata “Wah kamu bisa membuat beritanya. Bagus ini, teruskan meliputnya.” Saya sedikit “berbunga-bunga” dan sejak itu mengejar bus serta berkeringat di jalanan jadi biasa bagi saya.

Membandingkan berita
Ketika meliput Kejurnas renang itu, saya setiap pagi membandingkan berita saya dengan berita yang dibuat Atal di Suara Karya dan saya melihat begitu benyak kekurangan saya. Bapak Noordin Tambunan memang mengingatkan saya agar selalu membandingkan berita saya dengan hasil liputan rekan dari media lain.
Berita Atal menyebutkan usia si perenang, siapa pelatihnya, serunya lomba yang saling kejar di kolam renang, komentar yang menang dan yang kalah, susunan raihan medali malah ada wawancaara khusus dengan pelatih dan perenang yang dibuatnya menjadu berita tersendiri.
Saya pun mulai berkenalan dengan beberapa perenang dan pelatih termasuk si “keluarga air” Radja Nasution yang saat itu membawa bendera Jambi. Saya saat itu merasa gembira, karena berita-berita saya banyak yang dimuat koran-koran yang berlangganan berita dari ANTARA.
Saya juga mulai berkenalan dengan wartawan olahraga lainnya. Saya banyak dituntun dan dikenalkan ke berbagai sumber berita oleh senior saya Mazini Ibrahim dan Geasil yang keduanya kini sudah almarhum.
Setiap mengikuti jumpa pers dan setiap meliput salah satu cabang olahraga, keesokan harinya setiap pagi saya membolak-balik koran untuk membandingkan berita saya dengan berita yang dibuat rekan-rekan lain yang sudah lama meliput olahraga.
Saya pelajari cara mereka “mengangkat” teras berita (lead) berdasar materi yang dibicarakan dalam jumpa pers atau dari liputan mereka, saya amati gaya bahasa mereka dan cara mereka menuturkan permasalahan sekaligus memilah-milah bahasa jurnalistik mana yang sesuai dan mana yang tidak dengan “style book” ANTARA, sebagai acuan penulisan berita yang diterapkan kantor saya.
Lama-lama, karena fungsi kantor saya sebagai penyuplai berita ke media massa, saya buat berita saya tidak boleh sama dengan yang dibuat rekan-rekan saya. Jika ada temu pers, saya buat berita tentang temu pers itu, namun diluar itu saya “gali” lebih dalam atau saya wawancara khusus tentang masalah lain dengan tokoh-tokoh yang hadir dii situ.
Keesokan harinya, saya selalu “ditegur” rekan saya yang tidak mendapatkan berita eksklusif yang saya buat, karena menurut mereka bos mereka di kantor “menegur” mereka menanyakan mengapa berita yang saya buat tidak didapat mereka padahal berita itu didapat pada waktu diadakan acara yang bersamaan.

Cek dan ricek
Cek dan ricek atau “check and recheck” merupakan hal yang harus dilakukan wartawan apalagi jika mereka tidak pasti atau mendapatkan suatu berita tidak langsung dari sumber beritanya.
Senior saya memberi contoh: Seorang wartawan menulis berita tanpa hadir dalam peristiwa yang ditulisnya. Ada yang mengatakan padanya, Gubernur Ali Sadikin diceburkan atlet dan ofisial ke kolam di depan kantor Gubernur, karena tim DKI Jaya menang dalam suatu pertandingan.
Keesokan harinya Ali Sadikin marah-marah membaca berita itu dan rekan wartawan itu kena tegur di kantornya dan terpaksa meralat berita itu.
Ada pula wartawan dikibulin temannya tentang hasil pertandingan sepakbola. Ternyata hasil pertandingan yang ditulisnya tidak benar, pencetak golnya juga salah serta tidak ada perkelahian dalam pertandingan itu.
Di luar olahraga, kejadian tanpa ricek ini pernah terjadi ketika RRI memberitakan wakil presiden Sri Sultan meninggal dunia.
Indonesia sempat gempar, media asing mengutip berita itu, sehingga si wartawan kena sanksi dan sakit-sakitan dan akhirnya, mungkin karena memang sudah ajal, meninggal dunia.
Presiden Soeharto pun pernah diisukan lumpuh bahkan meninggal dunia. Bayangkan jika si penyunting atau si wartawan tidak ricek (periksa ulang) dan karena ingin “leading” langsung menurunkan berita itu. Apa tidak runyam.
Pada awal tahun 80-an, umumnya wartawan olahraga yang baru muncul di Senayan, akan mendapat cobaan dari wartawan senior yang biasa disebut dengan istilah “plonco”, yaitu memberitakan berita yang salah atau menyebutkan besok akan ada temu pers di salah satu tempat padahal temu pers itu tidak ada.
Ada pula yang memberikan jabatab seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, ejaaan nama yang salah dan yang lainnya. Konon cerita-cerita lucu ini pada tahun 90-an sudah jarang terdengar.

Perlu banyak sahabat
Banyak sahabat dan kenalan merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi wartawan olahraga yang baik. Sahabat dan kenalan di sini berarti sahabat seprofesi, sumber berita berupa tokoh organisasi, atlet, manajer dan pelatih termasuk personil yang tidak berkaitan langsung dengan profesi mereka.
Pada gilirannya kelak, kenalan, dan sahabat akan berkembang tidak saja dalam negeri tapi juga di luar negeri, yang berkaitan dengan cabang-cabang olahraga tertentu. Si wartawan memiliki nomor telepon dan alamat semua kenalannya itu dan selalu membawa-bawanya minimal menyimpannya di kantor.
Atlet merupakan objek sekaligus subjek materi liputan si wartawan olahraga dan wartawan yang jeli dan tekun memiliki tidak saja memiliki data kehidupan mereka (biodata) tapi juga catatan prestasi mereka dari satu lomba atau pertandingan ke pertandingan lainnya.
Dalam pendekatannya kepada para tokoh liputan itu, si wartawan olahraga sebaiknya tidak hanya bertemu dengan mereka di lapangan atau jika ada jumpa pers. Sesekali si wartawan datang ke markas mereka (Pelatda/ Pelatnas), ke rumah atau ke kantor. Todak hanya untuk melakukan wawancara khusus, terapi sekadar untuk bertandang atau mengucapkan “hallo”, tentu saja asal tidak menggangu mereka.
Atau peling tidak si wartawan menelepon sumber berita, minimal saat bermomentum, seperti ketika ulang tahun, kelahiran anak atau cucu, ulang tahun perkawinan, pernikahan, dan yang lainnya. Juga mengirimkan kartu lebaran, hari natal, malah beberapa media mengirimkan parsel pada sumber berita mereka saat Hari Raya atau Tahun Baru. Hal ini dilakukan demi membina hubungan agar terus baik sekaligus mengingatkan si sumber berita bahwa kita ingat padanya sehingga ia pun ingat pada kita.
Perlu disadari, dalam melakukan wawancara atau saat berkenalan pertama dengan para tokoh/ atlet, si wartawan sebaiknya memberikan kartu nama dan memperkenalkan diri mereka. Si wartawan juga menanyakan nomor telepon sumber berita dan minta pandangannya jika suatu saat akan menelepon untuk materi pemberitaan. Untuk membuka perkenalan, katakanlah lewat wawancara, pun ada tekniknya namu tidak akan kita bicarakan di sini.
Pengenalan sumber berita ini terasa semakin penting jika ada pertandingan multi even seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Orientasi liputan media nasional biasanya menjurus pada atlet dari negara masing-masing. Bagaimana mau melakukan wawancara jika tokoh/ atlet dari negara sendiri tidak dikenal?
Makanya kerap terjadi hal yang lucu, wartawan Indonesia ada yang menanyai atlet/ tokoh menggunakan bahasa Inggris, padahal orang yang dihadapinya orang Indonesia sendiri, yang memang wajahnya banyak yang mirip dengan orang Thailand atau Filipina.
Perlunya memiliki catatan sendiri tentang biodata dan data pertandingan/ lomba si atlet, agar cepat melengkapi berita dengan latar belakang (background) atlet dan tidak lagi menanyakan hal-hal sepele itu dalam jumpa pers.
Setiap habis lomba, biasanya panitia mengadakan jumpa pers dengan pemenang (juara pertama hingga ketiga). Ada wartawan yang masih menanyakan usia atlet, prestasi sebelumnya, rekor nasionalnya, dan lain-lain yang sepele. Biasanya wartawan lain akan gusar dan di situ terbukti pengetahuan si wartawan akan bidang liputannya amat dangkal.
Hal itu juga menunjukkan si wartawan malas. Dalam pertandingan multi even, biasanya di balai wartawan (press centre), jika rajin membuka komputer akan ada semua biodata dan data pertandingan setiap atlet dari setiap negara.
Sebelumnya ada saya sebut-sebut perlu juga berkenalan dengan tokoh yang tidak terlibat langsung dengan olahraga, tapi terlibat hubungan dekat dengan sumber berita si wartawan. Mereka adalah sekretaris, sopir, pembantu, tukang kebun, rekan dekat si sumber berita, keluarga, ajudan, dan yang lainnya.
Dari mereka itu si wartawan dapat mengetahui beberapa hal yang tidak mungkin ditanyakan kepada sumber berita, misalnya kebiasaan mereka, jam berapa berangkat dan tiba di kantor dan di mana biasanya makan siang. Bahkan hal-hal rahasia yang berkaitan dengan kepribadian sumber berita dan ini semua hanya untuk latar belakang pengetahuan saja.
Untuk menanyakan hal ini kepada orang-orang yang dekat dengan sumber berita juga tidak sembarangan. Si wartawan harus memahami dalam situasi apa bertanya, bagaimana cara menanyakannya, dari mana mulai bertanya. Karena salah-salah bertanya, orang-orang yang dekat dengan sumber berita itu malah menjauh dari si wartawan karena ia memperhitungkan wartawan itu “berbahaya” baik bagi dirinya sendiri maupun bagi si sumber berita.
Cara bertanya kepada Bapak Agung, ajudan Bapak Kardono ketika menjabat ketua umum PSSI, misalnya, tidak sama dengan cara bertanya pada Lucky Acub, putra Acub Zainal ketika menjabat ketua Liga, tidak sama pula dengan cara bertanya kepada Unggul, sekretaris Tinton Soeprapto ketika saya baru kenal dengan pembalap Tinton dan beda pula cara bertanya pada Rizal, sahabat sekaligus yang membawa mobil Adiguna Sutowo yang saat itu menjabat ketua IMI DKI Jaya.
Di Indonesia, liputan olahraga masih belum seperti di luar negeri yang lingkup liputannya sungguh luar biasa. Bruce Carrison dan Mark Sabljak dalam “Sports Reporting” melukiskan liputan tradisional di negara maju dibagi atas liputan kegiatan olahraga sejak masa SMTP dengan sumber berita guru dan orang tua.
Kemudian liputan SMTA dengan sumber berita pelatih, atlet, administrator, pengarah atlet, temu pers, dokter, mantan pelatih, manajer, pengurus klub. Sumber berita liputan jenis perguruan tinggi, liputan olahraga amatir, dan profesional pun demikian pula jenis sumber beritanya.
Di Indonesia, liputan wartawannya masih terbatas pada lingkup cabang-cabang prioritas sedangkan cabang yang bukan prioritas tidak terberitakan secara ajeg, apalagi kegiatan di perguruan tinggi, SMTP/ A yang memang amat minim.

C. DISIPLIN – SOPAN – JAGA JARAK DISIPLIN
Disiplin disini menyangkut mental, sopan tentang pembicaraan dan penampilan serta berusaha terus menjaga jarak dalam membina hubungan.
Disiplin yang menyangkut mental, saya beri contoh tentang waktu untuk wawancara. Si wartawan harus berusaha tiba di tempat wawancara sebelum waktu wawancara. Tidak ada alasan macet di jalanan, karena lalu lintas di ibukota memang selalu macet. Sekali waktu tidak tepat, si sumber berita umumnya langsung kurang percaya dengan si wartawan dan perlu diingat, karena keterlambatan si wartawan jadwal kerja si sumber berita yang umumnya sibuk jadi terganggu.
Demikian pula dengan jumpa pers dan meliput pertandingan. Jika si wartawan terlambat, ia harus bertanya-tanya sehingga materi pembicaraan jumpa pers atau jalannya lomba tidak “direkamnya” secara utuh. Jika bertanya kepada rekan wartawan, biasanya mereka sengaja atau tidak, memberikan materi seadanya saja.
Bagi wartawan olahraga yang umumnya bekerja larut malam, acara pagi hari merupakan “siksaan” bagi mereka, karena waktu tidur wartawan olahraga biasanya pagi hari. Namun dengan berusaha meningkatkan disiplin diri, si wartawan harus dapat hadir kapan saja dan dimana saja pada waktu yang tepat, kendati mata masih sembab kurang tidur.

SOPAN
Sopan berkaitan dengan cara bicara dan penampilan secara fisik. Cara bicara secara tidak langsung menunjukkan siapa kita sebenarnya, karena dari cara bicara wartawan si sumber berita dapat atau tidak dapat “menjengkal” si wartawan. Dari cara bicara pula si sumber berita membedakan watak wartawan satu dengan yang lainnya.
Dalam melakukan wawancara, baik khusus maupun ketika berlangsung jumpa pers, sebaiknya sa wartawan tidak seperti menggurui atau “menekan” si sumber berita. Karena jika sumber berita sudah enggan, maka keterangan yang lebih dalam atau malah yang “off the record” tidak akan diungkapkannya.
Namun wartawan dapat meminta kepastian atau hal yang positif dari sumber berita. Pernah salah seorang promotor yang akan mementaskan pertandingan tinju Ellyas Pical tidak dapat menunjukkan bukti-bukti tertulis, padahal sebelumnya diungkapkan petinju asing sudah dikontraknya untuk melawan Pical.
Wartawan berkeras agar ia menunjukkan buktinya karena tidak mau menipu masyarakat dengan hal-hal yang belum pasti. Karena ia tidak mampu memberikan kepastian, saya orang pertama meninggalkan restoran tempat jumpa pers itu, padahal piring dan makanan sudah mulai dikeluarkan.
Akhirnya sekitar 50-an wartawan meninggalkan tempat itu. Padahal saya merupakan wartawan olahraga pertama yang mengenal promotor itu, ketika ia berkantor kecil di Hotel Indonesia dan saat itu ia sebagai “maestro” WS Rendra ketika akan manggung di TIM.
Dari segi penampilan, wartawan olahraga biasanya dikenal agak “urakan”, berkaos oblong, pakai rompi, sepatu tidak mengkilat alias pakai sepatu karet. Maklumlah, liputannya pun kebanyakan di lapangan, bukan di gedung-gedung tinggi dan ber-AC, yang dijumpai atlet-atlet berkeringat, hanya sesekali tokoh yang berjas dan berdasi.
Namun dalam banyak hal, si wartawan olahraga harus tahu menempatkan diri dan pada waktu-waktu tertentu tampil rapi.
Ketika berlangsung pembukaan PON di Stadion Utama Senayan, seorang rekan wartawan karena kepanasan hanya mengenakan kaos singlet sementara rambutnya gondrong.
Di pintu, ia ditahan petugas yang saat itu agak keras karena Presiden akan datang. Petugas tidak mau tahu kendali ia mengaku wartawan dan pakai tanda pengenal (ID card). Kita sudah memperingatinya, jadi kita tertawa saja melihat kejadian itu.
Tapi sejak akhir tahun 90-an, jika saya sesekali bertandang ke Senayan, saya perhatikan penampilan para wartawan olahraga yang sekarang umumnya muda-muda, selalu kelihatan rapi dan trendi.

JAGA JARAK
Ada pameo yang menyebutkan hubungan wartawan dengan sumber berita tak ubahnya seperti dalam pertandingan olahraga. Misalnya main tenis atau bulutangkis, sama-sama berusaha mengalahkan lawan namun tetap bersahabat.
Si sumber berita perlu diberitakan, si wartawan perlu bahan untuk diberitakan, namun ada saatnya si sumber berita tidak bersedia memberikan keterangan dan ada pula saatnya si wartawan “mengalahkan” si sumber berita dengan menulis sesuatu yang tidak disukai sumber berita karena menulis sesuatu yang dianggap merugikan diri atau pihaknya.
Penjagaan jarak ini bisa “sirna” jika si wartawan sudah terlalu dekat dengan sumber berita atau jika sudah “menerima sesuatu” yang menyebabkan ada beban moral untuk tidak mengekspos sesuatu yang sebenarnya harus diberitakannya.
Saya memiliki pengalaman unik yang terjadi begitu saja dan tidak saya pikirkan sebelumnya. Salah seorang ketua umum PSSI pernah kenal dekat dengan saya. Kemana ia pergi saya pasti diajak, bahkan menghadiri pesta kawin keluarga di Pulau Jawa, saya pun diajak ikut, sehingga rekan-rekan sering mengolok-olok saya dengan menambahkan nama tokoh itu di belakang nama saya.
Jika ada pertandingan di luar negeri, saya dikirimnya bukan saja untuk meliput tetapi juga turut mengawasi para pemain bahkan ofisial. “Lihat-lihat mereka, apakah keluar malam begadang,” katanya.
Suatu saat, saya diajak ke Sumatera Utara dan tidak seperti biasanya selalu ditaklimat terlebih dahulu di atas pesawat, kali ini tidak ada pemberitahuan apa acaranya. Tiba di Bandara Polonia, penjemput amat banyak dan saya mengikuti rombongan pengurus PSSI lainnya memasuki ruangan VIP, tetapi ternyata ketua umum PSSI itu naik pesawat lain menuju Aceh.
Konon di pesawat menuju Aceh, ia mencari-cari saya karena satu-satunya wartawan yang ikut, sementara pengurus PSSI yang tinggal di Medan mengatakan jangan khawatir karena mereka juga tinggal di Medan untuk urusan PSSI.
Habis Maghrib, ketika diadakan pertemuan PSSi dengan Komda PSSI, tokoh itu datang dan langsung menghampiri saya sembari mendamprat mengatakan, “Tahukan kamu apa kesalahanmu?” dan saya tidak diberi kesempatan membela diri.
Seminggu sebelumnya ketika meninjau klub di Pontianak, saya sudah kena tegur juga karena membuat laporan dengan teras berita pernyataan yang diutarakan Sekjennya yang saya anggap hal baru sedangkan pernyataan ketua itu saya buat di bagian bawah. Ia bertanya siapa yang mengundang saya ke Pontianak dan saya jawab PSSI. Ia berang dan mulai tak mau menegur saya, padahal saya sudah bertahun-tahun kenal dengannya.
Setelah lama, saya merenung, inilah risiko terlalu dekat dengan sumber berita, namun saya bahagia karena saya tidak didikte. Tetapi saya jujur pula mengatakan bahwa ada juga tokoh yang dekat dengan saya selalu minta bantuan “mengkounter” berita yang menyerangnya kendati saya pun ikut mencoba meluruskan sikapnya yang saya anggap salah.
Kepada Tinton Soeprapto yang dekat dengan saya, saya katakan jika ada hal-hal negatif yang perlu diluruskan dan sudah tersiar di masyarakat, saya juga akan ikut memberitahukannya dan ia boleh membalasnya karena sesuai dengan kode etik jurnalistik iaa mempunyao hak jawab.
“Itu terserah kamu sesuai dengan kewenanganmu sebagai wartawan,” kata Tinton.
Kedekatan wartawan dengan sumber berita selalu salah kaprah karena diasumsikan berhubungan dengan “sesuatu”, karena yang selalu tersiar dalam berita si wartawan merupakan efek positif ketimbang yang negatif. Muhammad Bob Hasan pernah menunjuk satu wartawan sembari mengatakan, :Kan genteng rumahnya itu dari saya,” Boy Bolang berujar, “Anaknya lahir pun ia datang pada saya. Bahkan saya ingat dalam setahun ia datang beberapa kali mengatakan anaknya lahir. Entah berapa orang istrinya.” Ini terjadi karena si wartawan mancoba membuat jarak setelah telanjur dekat dan akibat ada tulisan yang menyudutkan si sumber berita.
Karena dekatnya wartawan dengan sumber berita, melalui pembinaan hubungan bertahun-tahun, kerap si wartawan menulis komentar si sumber berita tanpa haru s mewawancarainya. Si wartawan seolah-olah sudah tahu ap jawaban atas pertanyannya. Keesokan harinya si sumber berita hanya tertawa jika dikonfirmasi dan membaca berita itu.
Ketika usai pertandingan tinju dunia, saya pernah bertanya kepada Bob RH Nasution yang saat itu sebagai ketua panitia dan ia mengatakan tulis saja sesukamu. Keesokan harinya ia menelepon dan berujar, “Kau bikin aku seperti ahli tinju, tapi biarlah,” sembari tertawa.
Para pembalap seperti Dicky Setiawan, Asep Hendro, Imanuddin, Felix (sepeda motor), Robert Paul, Ronny Hermawan, Donnie Pangemanan (drag race), Tinton Soeprapto, Chandra Alim (mobil), Johny Pranata, Frans Tranujaya, Pieter Tranujaya (motocross), kerap mengatakan pada saya “tulis saja komentar saya yang baik-baik” jika diminta komentar tentang lomba yang akan mereka hadapi.
Jika anda membaca komentar atau ulasan mantan atlet di koran-koran tentang cabang yang dikuasai mereka, jangan salah, itu tidak selalu mereka yang menulisnya. Si wartawan hanya bertanya dan menuliskannya seolah-olah si pengamat yang menulis. Bahkan saya pernah mendengar dari wartawan, seluruh isi tulisan itu ia yang menulis setelah mendapat “lampu hijau” dari si pengamat, tanpa melakukan wawancara bahkan ketemu pun tidak, hanya minta izin lewat telepon.
Namun banyak juga pengamat yang menulis sendiri komentar mereka dan mengirimkannya ke koran-koran tertentu baik diminta ataupun ada yang tidak diminta, contohnya Syamsul Anwar Harahap yang menulis untuk KOMPAS (tinju) atau Benny Marilili (tenis) atau Ronny Pattianasarany (sepakbola).
Ini semua terjadi karena si sumber berita (komentator) sudah kenal dekat dengan si wartawan sehingga ia sudah dapat memahami dan menduga apa yang akn ditulis si wartawan tidak akan jauh melenceng dari apa yang ada dalam pikirannya, kendati artikel itu langsung membuat namanya di awal atau di ujung tulisan.
Namun sumber berita umumnya merasa lebih senang dan bergengsi jika nama mereka ada di media-media besar. Jadi mereka hanya menulis di media tertentu, apalagi bayaran mereka besar, namun wartawan dari media manapun dapat mewawancarai mereka dan mereka bersedia menjawabnya.
Tetapi sebaliknya, kerap terjadi si sumber berita tidak memandang dari media mana si wartawan berasal. Karena mereka sudah dekat hubungan yang terjadi selalu hubungan pribadi, namun tetap dalam batas-batas sumber berita dan wartawan, karena si sumber berita juga “tetap memanfaatkan” si wartawan jika ad sesuatu yang menyangkut pemberitaan apalagi yang memojokkan pribadi atau kelompoknya.
Karena kedekatan ini pula, si wartawan kerap menghadapi dilema di kantornya. Si sumber berita yang merasa sudah dekat dengan wartawan tertentu, selalu mengajak si wartawan ke daerah atau ke luar negeri jika ada pertandingan. Jika di kantor pimpinan si wartawan meminta agar wartawan lain yang berangkat, maka si sumber berita kerap membatalkan undangan untuk media di mana si wartawan bekerja.
Saya selalu menghadapi dilema ini. Baaru seminggu atau sebulan lalu ke luar negeri, tiba-tiba ada ajakan lagi ke luar negeri dan jika bukan saya yang berangakat si sumber berita membatalkan undangan. Tentu saja saya enggan mengatakan kepada pimpinan saya bahwa harus saya yang berangkat karena tentu akan dianggap mengada-ada atau serakah.
Beberapa kali tejadi, wartawan lain yang berngkat menggantikan si wartawan yang dekat dengan yang mengundang, terjadi ketidakpuasan. Si wartawan mengatakan pelayana yang mengundang kurang baik, mungkin karena hubungan merreka kaku, sementara yang mengundang mengatakan tidak puas dengan pemberitaannya.
Untuk mengatasi kasus seperti ini, redaktur yang berpengalaman biasanya harus turun tangan sekaligus meminta si wartawan yang di lapangan agar sejak awal atau jauh-jauh hari sudah menjelaskan permasalahan ini untuk menumbuhkan pemahaman dan kearifan bagi si sumber berita.

D. FISIK KUAT
Untuk menjadi wartawan olahraga dibutuhkan fisik kuat, apalagi jika meliput suatu turnamen atau kompetisi, baik berupa cabang tertentu terlebih yang bersifat multieven seperti PON, SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.
Meliput kompetisi sepakbola, misalnya, pada siang atau sore hari selalu ada berita pemanasan untuk pertandingan keesokan harinya, baik berupa jumpa pers ataupun wawancara ke kubu tim yang akan bertanding.
Petang atau malam hari, terjun ke lapangan untuk meliput jalannya pertandingan termasuk wawancara dengan tim yang menang ataupun yang kalah. Wawancara biasanya dilakukan kepada manajer tim, pelatih ataupun pemain, juga dapat kepada tokoh organisasi atau kalangan ahli (pegamat).
Kalau pada pertandingan itu wartawan dari satu kantor diturunkan lebih dari satu orang, pekerjaan dapat dibagi dan tidak terlalu sibuk, namun jika yang turun hanya seorang, maka dapat dibayangkan bagaiman cara si wartawan itu bekerja. Jika si peliput merasa enggan melakukan wawancara, maka ina akan kembali ke kantor dengan berbekal hanya hasil pertandingan. Zaman meliput kompetisi di awal tahun 80-an, baik kompetisi Perserikatan ataupun Liga, saya terjun seorang diri. Siang mengikuti wawancara dan jumpa pers, lalu membuat berita ke kantor, kemudian kembali lagi ke lapangan. Dari laapangan ke kantor dan sebelum membuat berita harus menelepon ke sana ke mari atau menunggu laporan dari biro daerah, karena kompetisi biasanya dilangsungkan di beberapa daerah.
Saya masih ingat ketika itu untuk makan pun kerap lupa. Beli nasi sebungkus dan selalu makan berdua di lapangan Menteng, biasanya bersama rekan Sakti Saung Umbaran dari Pos Kota, yang selalu mengantar saya ke jalan dekat kantor karena kami searah kembali ke kantor.
Meliput tinju pun selalu dihadapkan pada pola yang tidak jauh berbeda. Biasanya si wartawan pagi hari mengikuti acara timbang badan dan malam harinya meliput pertandingan. Saat meliput tinju pro, biasanya beberapa wartawan sudah menyiapkan uang recehan untuk menelepon dan sebelum pertandingan dimulai sudah mencari posisi telepon umum yang paling dekat sekaligus memeriksanya apakah berfungsi. Ketika itu belum ada telepon genggam. Beberapa konglomerat ketika itu baru membawa telepon mobil yang cukup besar dan biasanya sopirnya yang menenteng ke mana-mana.
Karena pertandingan tinju berlangsung sampai tengah malam, wartawan biasanya sebelumnya sudah membuat beritanya di kantor, tinggal mengisi siapa yang kalah dan menang, angka TKO atau KO. Usai pertandingan, wartawan bertaburan melakukan wawancara dari satu petinju atau tokoh ke sumber berita lainnya baru berebutan ke telepon umum, untuk melaporkan hasil pertandingan/ wawancara kepada rekannya di kantor.
Makanya wartawan olahraga selalu disebut tidak memiliki jam kerja, karena keluar dari rumah pagi atau siang hari dan pulang tengah malam. Wartawan olahraga pula yang selalu terkena penyakit khusus seperti ginjal, jantung, darah tinggi. Dan umumnya, sekali lagi umumnya, wartawan olahraga pula yang jarang berolahraga, biasanya jawabannya cukup klasik, “Bangun saja siang, bagaimana mau berolahraga.” Padahal kalau dipikir-pikir, jam berapa pun bisa melakukan olahraga.

E. KEMAUAN KERAS
Kemauan keras di sini saya artikan dengan mental, baik mental keseharian maupun ketika menjalankan tugas, dalam arti kegigihan dalam mencari berita demi terwujudnya akurasi berita.
Sebagai contoh, ketika meliput multieven di luar negeri, beberapa wartawan kerap kehilangan copy berita. Pada tahun 80-an belum banyak wartawan yang memiliki laptop (notebook) sehingga mengirim berita dari luar negeri terpaksa harus difaksimili dan tentu saja selalu harus bergiliran.
Copy berita yang sudah dikirim, biasanya dimasukkan ke dalam map oleh si petugaas pengirim berita dan berita yang di dalam map inilah yang hilang dan setelah usut punya usut ternyata diambil oleh rekan lain. Ia mengubah sedikit berita itu kemudian langsung mengirimkannya ke kantornya.
Wartawan jenis ini umumnya selalu menunggu di balai wartawan (press centre). Ketika temannya bangun pagi dan bergegas ke lapangan untuk meliput, ia masih tidur di kamar hotel dan berangkat ke balai wartawan siang atau sore hari.
Di zaman saya masih meliput di lapangan, di Jakarta pun hal ini kerap terjai. Rekan yang hobinya main kartu di SIWO PWI Jaya atau main catur, selalu hanya “meminta” berita rekannya yang baru datang. “Ada berita apa nih. Bagi gua dong,” begitu kata rekan yang lagi malas itu.
Untuk menemui sumber berita pun ada kalanya amat susah sehingga membutuhkan trik tersendiri untuk memecahkannya. Ada sumber berita yang sibuk dan menyuruh menunggu, namun berjam-jam menunggu ia belum nongol juga. Di sini mental si wartawan diuji.
Ketika meliput Asian Games di Beijing tahun 1990, untuk menghubungi arlet atau ofisial Indonesia harus minta izin 24 ja sebelumnya. Ini tentu bertele-tele apalagi kerjaan cukup banyak, termasuk meliput langsung pertandingan.
Saya bersama rekan Aral Depari (saat itu ia bekerja untuk Suara Karya) selalu jalan bersama. Di pagar luar tembok perkampungan atlet yang dijaga keras, kami duduk-duduk sembari merokok dan bercanda. Tujuan kami, menunggu atlet Indonesia kalau-kalau ada yang keluar atau masuk. Kepada merekalah kami meminta agar dipanggilkan tokoh yang ingin kami wawancarai dan akal-akalan itu berhasil.
Saya pun suatu siang pergi ke salah satu restoran besar dekat perkampungan atlet. Saya pikir, tentu mereka bosan makan di perkampungan itu. Ternyata benar, saya bertemu dengan rombongan petinju Indonesia, lengkap dengan pelatihnya. Helmut Kruger yanf asal Jerman itu. Suatu siang saya pergi ke toko cinderamata dan ketemu pula dengan Tala Mansoor asal Dooha, Qatar, juara lari 100 meter putra. Saya minta tanda tangannya, karena diduga teman saya melakukan wawancara imajiner, yang pernah dilakukan beberapa teman, karena sukar diketahui kebenarannya dalam situasi multieven seperi itu.
Kendati saya selalu jalan bersama dengan rekan Atal Depari, tetapi berita kami tida pernah sama. Jika kami sama-sama wawancara, tentu teknik penyajiannya beda, belum lagi kelengkapan data latar belakangnya (background). Kami amat bersaing menguber berita. Di jalan boleh sama, tetapi di lapangan kami ad kepiawaian dalam menemui sumber berita dan pulang lagi berbarengan sembar senyum-senyum seolah menyimpan rahasia.
Di balai media, memang biasa saling bagi berita atau komentar tokoh atau atlet dengan rekan lain, karena liputan cukup banyak setiap hari sedangkan kita meliput di tempat lain. Tetapi umumnya wawancara eksklusif tidak akan pernah diberikan kepada orang lain. “Walaupun kantor saya sifatnya menyuplai berita ke koran-koran tetapi berita ini harus disuplai lewat kantor saya,” begitu saya selalu berpikir.
Ketika meliput lomba Formula 1 di Adelaide, Australia, 7 November 1993, tujuan saya bagaimana caranya agar dapat bertemu dengan juara dunia Ayrton Senna, pembalap legendaris yang setahun kemudian meninggal dunia dalam kecelakaan di sirkuit Imola, Italia.
Untuk masuk ke “pit” atau “paddock” tidak mungkin karena IDCard saya tidak memungkinkan masuk ke area yang paling gampang menemui pembalap itu. Jumpa pers usai lomba saja hanya beberapa wartawan yang boleh mengikutinya, selebihnya berada di ruang lain mengikuti lewat layar televisi yang dihubungkan langsung ke ruang temu pers.
Saya berpikir, Ayron Senna tentu suatu saat ingin kencing, karena saya lihat beberapa pembalap keluar masuk toilet yang ditempatkan di bagian luar paddock. Ternyata benar, karena saya sudah kenal wajahnya, saya uber ia ke dalam toilet, tetapi ia masuk ke salah satu ruang. Saya tunggu di luar dan begitu ia keluar, saya tangkap tangannya sambil memperkenalkan diri. Terjadilah wawancara kilat, malah sempat berfoto bareng.
Saat meliput kejuaraan dunia reli mobil di Auckland, Selandia Baru, 1992, saya ingin wawancara dengan juara dunia Carlos Sainz asal Spanyol. Ia tidak mungkin ditemui di kamarnya, kendati ia menginap di hotel yang sama.
Saya tunggu ia makan siang. Saya duduk di lobi hotel dan siang hari keluarlah pereli yang dijuluki ”Matador” itu. Saya mengejarnya, memperkenalkan diri, namun ia tidak bersedia diwawancarai dan mengisi waktu lima menit usai makan siang.
Di sinilah mental saya diuji. Sekitar tiga jam saya menunggu, baru ia keluar. Wawancara sembari berdiri pun terjadi. Ia malah tercenung dan memandang saya lama, karena pertanyaan saya, menurut dia, lain dari yang lain. Saya tanyakan falsafah hidupnya, kehidupan keluarganya karena dalam setahun ia hanya beberapa hari di rumah. Pertanyaan-pertanyaan ang mungkin belum pernah ditanyakan padanya, malah membuat ia kenal pada saya dan setiap ketemu ia berujar, “Hallo Indonesia.” Saat itu ia belum pernah ke Indonesia. Baru pada 1996 ia datang ke Indonesia mengikuti kejuaraan dunia yang diadakan di Sumatera Utara.

F. PENGERTIAN KELUARGA
Dalam setiap kehidupan berkeluarga, pengertian memang merupakan kata yang harus diaplikasikan senyata-nyatanya, bukan saja bagi wartawan tetapi bagi setiap insan yang telah berumah tangga, demi membina kerukunan mengarungi bahtera kehidupan
Namun bagi wartawan, terutama wartawan olahraga waktu kerjanya memang tidak lazim. Di kala orang-orang berangkat kerja pagi, wartawan olahraga masih sibuk di lapangan. Sabtu dan Minggu orang-orang istirahat bersama keluarga di rumah, wartawan olahraga malah di lapangan, karena umumnya pertandingan banyak yang berlangsung Sabtu dan Minggu. Saat libur nasional, wartawan libur sehari sebelumnya sedangkan saat libur sudah masuk kantor untuk menyiapkan penerbitan esok hari.
Wartawan olahraga juga paling kerap bepergian, baik ke daerah maupun ke luar negeri dan terkadang berminggu-minggu. Di satu sisi, wartawan olahraga-lah yang paling “kaya batinnya” karena salam setahun bisa beberapa kali ke luar negeri dan tentu saja tidak bersama keluarga.
Wartawan pun yang paling banyak membawa “sampah” ke rumah. Karena berceceran, kartu nama dan ID Card (tanda pengenal) jika dikumpul dalam setahun bisa rarusan banyaknya. Biasanya si wartawan “marah” bila si istri membuang “sampah” itu sembarangan, karena amat banyak gunanya dalam menekuni profesinya.
Hal-hal di luar pekerjaan “normal” inilah yang biasanya selalu digaduhkan di rumah. “Tidak ada pertandingan tetapi keluar rumah terus hingga tengah malam,” begitu selalu dikeluhkan istri yang bosan ditinggal terus. Padahal jika tidak ada pertandingan pun, si wartawan harus selalu berada di lapangan untuk mengikuti terus perkembangan.
Bagaimana si istri tidak jengkell. Kemana-mana ia sendiri atau bersama anak. Kondangan sendiri. Urusan sekolah anak sendirian terus dan mau kemana-mana selalu sendirian. Biasanay kalai ngumpul-ngumpul dengan rekannya, si istri selalu diledek rekannya san “dibumbui” dengan kisah-kisah selingkuh. Padahal kalau ada niat selingkuh, siapapun bisa melakukannya, kok wartawan selalu dituduh oaling gampang selingkuh, begitu selalu alasan si suami.
Makanya dalam hal ini perlu pengertian. Si wartawan pun jika sedang giliran tidak masuk kantor (off day) sebaiknya di rumah terus untuk dapat bercengkerama dengan keluarga. Karena untuk dekat dengan istri dan anak tidak selalu harus hari Minggu. Kapan saja pun bisa. Todak perlu dipungkiri, banayak juga rekan yang tidak langsung pulang seusai kerja malam, tapi melepas “stress” ke klub malam. Jadi semua tergantung dan kembali pada pribadi masing-masing. Membina pengertian selalu harus datang dari pihak si wartawan dan sekali-sekali ajaklah si istri ke lapangan. Dan umumnya jika suami istri profesinya wartawan, walaupun tidak sama-sama wartawan olahraga, rasa pengertian itu selalu lebih gampang tumbuhnya.

G.KLIPING PRIBADI
Kliping pribadi merupakan hal yang mutlak harus dimiliki wartawan, dalam hal ini wartawan olahraga. Ganjil dan musykil rasanya jika wartawan olahraga tidak memiliki kliping pribadi.
Dalam liputan olahraga, si wartawan selalu dihadapkan pada data-data, mengenai si atlet maupun pertandingan yang sudah berlangsung. Ia harus memiliki biodata atlet dan jalannya pertandingan yang sudah lewat, agar mampu melakukan tulisan komparasi dengan pertandingan lain.
Jika dalam temu pers dengan atlet usai lomba, terutama dalam liputan multieven, bila ada wartawan yang masih menanyakan biodata atau rekor-rekor si atlet, wartawan lain biasanya marah dan langsung menjengkal pengetahuan si wartawan. Karena jika tidak memiliki data-data yang dibawa dari negara sendiri, data-data itu dapat dilihat di komputer atau di balai wartawan.
Begitu banyaknya cabang olahraga yang bernaung di bawah IOC (Komite Olimpiade Internasional) maupun induk olahraga profesional lainnya, seperti WBC, WBO, IBF pada tinju pro dan FIA, FIM, CIK pada cabang otomotif, sehingga si wartawan tidak mungkin memiliki data-datanya.
Berdasarkan perjalanan dalam meliput, si wartawan akan berhadapan dengan liputan khusus (Spesialisasi, hal 73) sehingga ia harus memiliki apa yang harus diklipingnya.
Kliping adalah perpanjangan pikiran. Peliput cabang bulu tangkis, misalnya, hatus mengetahui biodata Susi Susanti, Alan Budikisuma, Rexi dan yang lainnya, hasil pertandingan di tiap turnamen, lawan-lawan yang sudah dihadapinya. Berapa banyak atlet bulu tangkis di Tanah Air dan berapa banyak pula atlet asing yang harus diketahuinya. Kalau menulis berita yang kalah menang, berita itu nantinya akan “kering” tetapi jika ditambahkan dengan latar belakang maka berita itu akan berwarna (colour).
Kliping selalu diusahakan kumpulan tulisan sendiri yang digabung dengan berita/ tulisan rekan dari media lain, termasuk tulisan para kolumnis.
Setiap saya meliput pertandingan multieven di luar negeri saya selalu membawa kliping berisi berita-berita dari Pelatnas, uji coba, wawancara-wawancara teknis dan nonteknis, sehingga tidak jarang kliping saya jadi rebutan, bahkan oleh si wartawan yang ada di dalam kliping saya, karena data-data akurat amat dibutuhkan dalam penulisan berita apalagi untuk menyusun (feature).
Kalaupun ada perpustakaan atau seksi acuan di kantor biasanya tidak akan menyiapkan semua yang dibutuhkan si wartawan sehingg kliping pribadi harus disimpan di rumah. Di kantor media, umumnya tiap bagian (desk) ruangannya kecil, sehingga tidak akan mungkin menampung seluruh kliping yang dibuat si wartawan. Zaman sekarang, bisa saja membuat kliping di dalam disket, tapi kliping konvensional tetap dibutuhkan.
Saya yang lama meliput cabang otomotif, pernah membuat kliping menggunakan “ordner” untuk jenis Formula 1, Reli Dunia, Reli Nasional, reli jarak pendek (sprint rally), reli wisata, motocross dalam negeri, motocross dunia (125 CC dan 250 CC), go-kart, dragrace, Formula Asia, Grand Prix sepeda motor 125 CC, 250 CC, dan 500 CC, superbike, road race.
Ruangan kerja saya di rumah yang memang kecil bertambah sumpek.
Belum lagi kliping tinju, atletik, umum, buku/ majalah program pertandingan/ perlombaan yang dibuang sayang, album foto, komputer, printer, dan ratusan ID Card saya bergantungan. “Kayak kantor yang berantakan saja,” selalu kata istri saya dengan wajah merengut, apalagi jika kertas sedang berserakan. “Ini harta yang tak ternilai harganya,” selalu pula jawab saya.
Akhirnya pada waktu tertentu kliping itu saya jilid, bersama tabloid olahraga yang setiap tahun juga saya jilid keseluruhan, sehingg dapat disusun dengan rapi dan dapat dibuka setiap saat.
Saya merasakan perlunya kliping itu setiap kali saya ingin menulis artikel tentang cabang olahraga tertentu.
Makanya jika ada wartawan olahraga yang tidak memiliki kliping pribadi atau perpustakaan sendiri, perlu dipertanyakan keseriusannya dalam menekuni profesi yang digelutinya. Liputan olahraga adalah liputan berkesinambungan yang tidak ada putus-putusnya. Jadi tidak perlu heran jika wartawan asing yang meliput cabanng tertentu, sampai tua ia tetap menekuninya dan menguasai liputannya dengan tuntas.

H. KE LUAR NEGERI
Ingin cepat-cepat ke luar negeri? Jadilah wartawan olahraga. Itu pameo bagi wartawan, terlebih sebelum zaman krisis moneter (Krismon). Hampir setiap bulan ada saja atlet kita yang bertanding/ berloma di luar negeri, baik per cabang maupun yang multieven.
Ketika saya ditempatkan di bagian olahraga di kantor saya, belum satu tahun sudah beberapa kali berangkat meliput ke luar negeri, sedangkan rekan seangkatan saya di bagian lain, hinga bertahun-tahun belum tentu sekalipun ke luar negeri.
Untuk meliput pertandingan/ perlombaan per cabang, biasanya kalau bukan cabang yang dikategorikan prioritas, si wartawan ke luar negeri berdasarkan kedekatannya dengan tokoh di cabang itu, sedangkan untuk cabang prioritas seperti sepak bola, bulu tangkis, tinju, maka kantor akan mengirimkan peliputnya.
Sedangkan untuk pertandingan muliteven, contohnya Asian Games yang berlangsung di Bangkok, awal November 1998, KONI Pusat, dan Menpora mengirim wartawan. SIWO PWI Jaya-lah yang memilih wartawan yang akan berangkat, berdasar undian media, atau cara lainnya. Namun ada kalanya pengirim tersebut hanya memberikan sedikit fasilitas, sehingga kantor tempat wartawan bekerja harus memberi tambahan uang untuk “board and lodging” pada karyawannya.
Apa yang perlu disiapkan si wartawan jika meliput di luar negeri?
Selain bahan-bahan atau materi pertandingan/ lomba termasuk biodata para atlet adalah mengenai keadaan negara yang dituju dan musim yang sedang melanda negara itu. Ketika pertama kali ke Inggris, saya tidak membawa perlengkapan musim dingin sehingga saya amat kerepotan.
Minimal kita pernah membaca, atau meneliti sesaat di perpustakaan, tentang kondisi negara tujuan, seperti adat-istiadat, jumlah penduduknya dan yang lainnya, sehingga ia tidak begitu asing begitu datang ke negara yang ditujunya.
Kalau saya tiba di negara tempat saya meliput, begitu masuk hotel, yang pertama saya pelajari adalah situasi hotel. Biasanya ada buku petunjuk atau gambar di balik pintu tentang denah hotel, mulai dari ruang-ruangnya per lantai, pintu darurat (emergency) dan cara-cara menyelamatkan diri jika ada bahaya/ kebakaran.
Yang kedua, saya membeli peta (map) kota tempat saya meliput, yang dilengkapi dengan jalan-jalan, lokasi tujuan saya (tempat pertandinga/ perlombaan) sedangkan lokasi hotel saya diberi tanda merah. Hal ini untuk mempermudah jika kita tersesat, atau memberi arah pada pengemudi taksi, apalagi jika ia tidak mengerti behasa Inggris.
Bina persahabatan dengan beberapa orang hotel, baik di tingkat (manajer) atau maupun tingkat bawah (pembersih kamar, pegawai di “drug store” ataupun resepsionis), minimal saling mengenal wajah atau saling sapa setiap hari.
Untuk apa? Setiap pagi kita tentu ingin membaca koran. Isi koran yang berbahasa Inggris (Internasional) biasanya beda dengan koran dengan bahasa/ tulisan asli negara itu, seperti di Korea, Bangkok, Jepang, Cina yang berita daerahnya lebih banyak.
Situasi atlet mereka pun banyak kita ketahui dari koran lokal itu, sehingga kita dari hotel sudah memiliki program untuk mengembangkan wacana berita kita untuk hari itu, atau kalau perlu kita kutip langsung dari koran itu, tentu saja dengan menyebutkan sumbernya. Komentar mereka tentang atlet asing, termasuk atlet Indonesia, juga dapat kita “timba” dari koran daerah itu dan hal itu tidak melanggar kode etik wartawan.
Terkadang wartawan yang ingin “menghirup” udara malam, sebainya bertanya dulu kepada petugas hotel, ataupun wartawan setempat yang dikenal di lapangan. Kalau sudah akrab, wartawan lokal itu selalu ingin bersahabat lebih dalam dan bersedia mengantar kita ke mana pun yang kita inginkan.
Ada peristiwa yang menjengkelkan ketika saya meliput lomba Formula 1 di Adelaide, Australia. Saya diundang bersama beberapa wartawan lain, termasuk para tokoh otomotif dan rencananya kami akan menginap di salah satu apartemen.
Ketika tiba di Bandara Adelaide, saat antre untuk mencap paspor di bagian Imigrasi, seekor anjing amat besar mengendus-endus rekan di depan saya. Rekan lain pada tertawa, ada yang mengatakan, “Makanya, kalau mau pergi itu mandi dulu.”
Akhirnya kami ditahan, sedangkan yang lain sudah selesai dan menghilang. Ternyata ada bus jemputan dan mereka pergi menuju apartemen, yang saya tidak tahuu di mana lokasinya.
Saya bersama rekan dari Tabloid Otomotif, Sukarman (sekarang pindah ke Motor dan pindah lagi ke Auto Car) serta permbalap Chandra Alim, diperiksa dengan ketat. Seluruh bawaan kami diperiksa, termasuk buka sepatu. Masih mending diperiksa saja, kami pun digertak petugas yang mukanya diseram-seramkan, tetapi memang seram juga.
Yang membuat saya ciut, petugas itu menanyakan di mana hotel yang sudah kami “booking”, karena pendatang yang ingin menonton F-1 harus sudah mem”booking” hotel jauh-jauh hari.
Chandra alim menunjukkan tanda “booking”nya dan yang paling parah, di situ hanya tertera nama Chandra Alim dan Sukarman (yang diundangnya) sedangkan rombongan saya entah sudah di mana.
Untung Chandra Alim menyebutkan saya pun wartawan yang diundangnya dan si petugas mengatakan, “Kamu hebat sekali, membawa sekaligus dua wartawan.” Chandra Alim sendiri sempat “dapat masalah” karena ada benda dibungkus kain putih yang dibawanya yang amat dicurigai para petugas.
Chandra menyebutkan benda itu adalah semacam “maskot” atau “ajimat” yang selalu dibawanya jika ia ingin mengikuti lomba.
“Tolong hargailah kami sebagai tamu-tamu tuan. Kalau hal ini kami ceritakan pada perwakilan negara kami di sini, tuan-tuan bisa dapat masalah dan negara tuan citranya jelek di negara kami, “ kata Chandra, yang ternyata bisa juga berdiplomasi sembari “menggertak”.
Akhirnya saya selamat, kendat masih “luntang-lantung”, karena koper saya berada di kamar hotel Chandra Alim, sementara saya ke tempat perlombaan untuk mencari rekan-rekan, sedangkan Chandra Alim dan Sukarman entah sudah di mana pula. Dua hari saya baru berhasil mengambil koper saya dari tempat Chandra, itu pun pukul 00.02 dini hari, saat mereka saya pastikan ada di kamar.
Ketika saya meliput tinju Stoke-on-Trend, sekitar 600 km selatan London, ada juga hal “mengerikan” terjadi. Suatu malam, saya bersama tokoh tinju Setijadi Laksono (kini almarhum) dari Surabaya beserta istrinya dan Herry “Aseng” Sugiarto (kini sebagai promotor tinju) serta tokoh tinju Surabaya, Eddi Pirih, berangkat ke London dari Stoke-on-Trend.
Setelah berjalan-jalan ke beberapa tempat, kami “terdampar” di Soho, kawasan hiburana malam yang terkenal di London. Iseng-iseng ingin menonton tari telanjang. Saya pikir tidak akan ada ekses negatif, apalagi ada seorang ibu ini.
Setelah beli tiket, kami dituntun melewati tangga di lorong sempit berliku-liku ke ruang bawah tanah. Saya mulai ngeri, apalagi di bawah kami disambut seorang wanita pakaian bikini dengan tubuh mirip binaragawan Ade Ray. Pakai tato banyak lagi.
Kami duduk di satu meja bundar, di depan kami ada layar dan kelihatan dipancarkan “slide” wanita setengah telanjang dan yang lucunya “slide” itu berupa lukisan, mungkin pakai spidol. Tak lama kemudian datang seorang pelayan ke ruangan remang-remang yang sepi itu. Ia membawa gelas amat besar berisi bir.
“Kami tidak memesan bir,” kata Setijadi Laksono.
“Tidak bisa, setiap yang masuk ke sini harus minum bir,” kata pelayan itu sedangkan si wanita berbikini dengan berlipat tangan memandang dengan wajah dingin. “Istri saya pun tidak minum bir,” tambah Setijadi.
Pelayan itu dengan kasar menyodorkan “bill” yang jika kami hitung harganya ratusan ribu rupiah, yang nilainya kami rasa amat tinggi kendati belum Krismon. Bersitegang urat leher terjadi.
“Panggil polisi,” kata Setijadi, sedangkan saya mulai membaca doa-doa selamat. “Tidak ada polisi di disini,” jawab si pelayan dan datang pula dua orang rekannya yang cukup kekar.
“Kami akan hubungi duta besar kami,” kembali kata Setijadi tetapi mereka tidak gentar. Akhirnya Setijadi berdiri dan pasang kuda-kuda sembari berteriak, “I am a boxer. Come on fighting.”
Ketika situasi semakin gawat dan semua sudah bersiap-siap bertarung, Aseng yang sedari tadi diam berteriak, “Gun … pistol …,” sembari mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya dan menghentakkannya ke meja. “Pistol” Aseng itu ternyata gagang kamera video kecil yang bisa dicopot dan disimpannya di balik jaket.
Semua yang ada di ruangan remang-remang itu terdiam, mereka seperti “mengkeret” dan kami satu per satu berlari ke tangga… melarikan diri. Di tengah jalan, saya berkata.
“Bayangkan jika masalah itu sampai ke kedutaan kita, betapa malunya.” Tetapi kami lega juga dan membawa cerita lucu tetapi mengerikan itu ke Stoke-on-Trend. Tinton Soeprapto yang saat itu sebagai promotor Hengky Gun dari Sasana Sawunggaling yang bertarung di sana, terbahak-bahak mendengar cerita kami.
Ini saya ceritakan, agar jadi pelajaran manakala bepergian ke luar negeri, harus berhati-hati jika pergi ke tempat tertentu yang kita belum hafal betul keadaan di situ. Bertanyalah… banyak bertanya.

I. SIWO PWI
Seksi wartawan olahraga PWI pada awalnya merupakan salah satu seksi yang berada di bawah naungan PWI seperti halnya seksi film, kebudayaan, Hankam dan yang lainnya dan belakangan hanya berbentuk koordinator.
SIWO PWI ada di tiap PWI daerah dan di Jakarta namanya PWI Jaya yang ketuanya dipilih oleh anggotanya sendiri dari berbagai media massa dan elektronik dan untuk 1998, ketua PWI Jaya masih dipegang Atal S. Depari, yang belakangan ini beralih kepada wakilnya, Ian Situmorang.
Para anggota harus mendaftarkan diri sebagai anggota ke Sekretariat PWI (Jaya) yang berlokasi di Senayan, dengan membawa pengantar dari kantor masing-masing dan tiap bulan membayar iuran anggota.
Perlunya menjadi anggota SIWO PWI (daerah), biasanya jika ada liputan tertentu, selalu ada koordinasi antara penyelenggara even dengan SIWO PWI terutama untuk pembuatan ID Card, sehingga bila bukan anggota SIWO PWI biasanya pengurusnya tidak melayani Anggota SIWO PWI (daerah) pun sebelumnya harus terdaftar anggota PWI Pusat. Pernah ada sumber berita yang merasa dirugikan pemberitaan salah satu tabloid dan melaporkannya kepada SIWO PWI Jaya. Ketika di cek ternyata si wartawan tidak terdaftar di SIWO PWI Jaya bahkan di PWI Pusat pun ternyata belum. Kalau mereka terdaftar, maka akan diambil langkah-langkah tertentu untuk membahasnya.
Hubungan secara internasional organosatoris, dari SIWO PWI Pusat juga biasanya diteruskan kepada SIWO PWI (daerah), misalnya undangan untuk meninjau persiapan multieven di luar negeri ataupun untuk membuat kartu liputan internasional Oliimpiade.
Hanya beberapa wartawan olahraga Indonesia yang memiliki kartu “SIWO Internasional” yang disebut “AIPS” (Persatuan Wartawan Sport Internasional) itu dan kartu itu pun ada batas berlakunya dan ada pula iurannya.
Sekretariat SIWO PWI (Jaya) adalah tempat kumpul-kumpul para wartawan sebelum atau setelah meliput. Di tempat itu biasanya dapat diperoleh informasi atau saling tukar informasi namaun juga tempat main catur, tenis meja atau tidur di kursi sekadarnya untuk menghilangkan penat.
Untuk menggalang rasa persatuan para wartawan olahraga se-Indonesia, setiap tahun ada pekan olaharga wartawan nasional (Porwanas), yang biasanya diselingi diskusi dan penetapan daerah tuan rumah kegiatan tahun depannya.
Pada bulan April 1999, SIWO PWI Jaya membina hubungan dengan kantor Menpora dan KONI Pusat, ketika Malam Anugerah Olahraga, yaitu pemilihan atlet terbaik yang disiarkam langsung oleh TVRI Acara sama pada tahun 2000 diadakan di salah satu kafe di Senayan.
SIWO PWI jaya pun memiliki banyak kegiatan tiap tahunnya, misalnya pendidikan serta acara olahraga seperti bola voli, gerak jalan, sepak bola, balap sepeda, yang diadakan sacara nasional untuk pembalap nasional dan lancar tidaknya kegiatan itu selalu tergantung pada sponsor atau induk organisasi yang bersangkutan jika ada masalah wartawan olahraga dengan sumber berita atau oraganisasi olahraga, biasanya kasusnya dilanjutkan ke SIWO/ PWI Jaya, termasuk boikot pers terhadap kegiatan PSSI, Juli 2000.
Ketua SIWO PWI Jaya dipilih berdasarkan rapat anggota sedangkan ketua SIWO Pusat/ Departemen Olahraga, terpilih melalui Munas.
Belakangan ini istilah ketua SIWO itu diubah menjadi semacam koordinator dan Atal S. Depari pun duduk juga di kepengurusan PWI Pusat di bawah komando Ketua Umum H. Tarman Azzam, yang juga terpilih pada Munas PWI di Semarang, untuk periode 1998-2003. Sedangkan ketua SIWO/ PWI Jaya saat ini dijabat Ian Situmorang dari Tabloid Bola/ dengan banyaknya organisasi wartawan yang sekarang bermunculan selain PWI, maka fungsi SIWO/ PWI pun tampaknya akan semakin dipertanyakan.**


Modal dasar wartawan
- Penguasaan materi, bahasa, dan teknik jurnalistik
- Setiap hari membandingkan berita sendiri/ orang lain
- Setiap saat membina persahabatan
- Materi berita dicek dan ricek
- Disiplin waktu, sopan dan jaga jarak
- Wartawan olahraga harus berfisik kuat, berkemauan keras
- Membuat kliping pribadi di rumah/ kantor
- Membina pengertian dalam keluarga, karena jarang di rumah
- Bergaul dan menjadi anggota SIWO/ PWI Jaya
(BERSAMBUNG)