Monday, April 5, 2010

SOERATIN, NURDIN DAN KSN Oleh A.R. Loebis

Jakarta, 25/3 (ANTARA) - Kalau Ir Soeratin masih hidup, usianya saat ini sudah 112 tahun dan ia pasti merasa sedih sekali menyaksikan perjalanan sepak bola nasional yang carut-marut.

Insinyur sipil kelahiran Yogyakarta 17 Desember itu 1898 itu meninggal pada 1959 dalam kemiskinan, setelah lama sakit dan tidak mampu membeli obat. Rumahnya ketika itu berukuran 4 X 6 meter di Jalan Lombok, Bandung, berdinding bambu (gedhek).

Tidak ada warisan tokoh pemersatu bangsa itu, kecuali organisasi yang dicintainya, PSSI, yang didirikan pada 1930 dan ia menjadi ketua umum pertama, (99 Tokoh Olahraga, Catatan Satu Abad, 1908-2008; Perum Antara - Kemenpora, 2009).

Soeratin tidak mungkin dilupakan dan namanya tidak dapat dilepaskan dari sepak bola Indonesia. Ia memprakarsai pembentukan PSSI dengan berjuang berat seperti tokoh lain yang mendirikan organisasi politik dan sosial, karena pemerintah kolonial Belanda amat anti dengan yang bersifat nasional.

Sepak bola Indonesia sempat disebut-sebut sebagai "Macan Asia", ketika tim nasional diperkuat Maulwi Saelan, Ramang, Aang Witarsa, Ramlan Yatin, Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, Tan Liong Houw dan lainnya, dengan pelatih Tony Pogacnik dari Yugoslavia.

Indonesia bahkan pernah menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956 dan negara komunis itu kemudian tampil sebagai juara.

Sembilan belas hari menjelang PSSI memperingati ulang tahun ke-80 (didirikan 19 April 1930), tepatnya pada 30-31 Maret mendatang, berbagai kalangan berkumpul di Malang untuk membicarakan sepak bola Indonesia yang tidak kunjung menapak ke puncak prestasi.

Jangankan melanglang buana di tingkat dunia, di kawasan Asia Tenggara saja sudah terpuruk hebat, bahkan dilibas tim "bau kencur", Laos

Apa sebenarnya yang terjadi pada sepak bola Indonesia?

Inilah yang akan dibicarakan dalam Kongres Sepakbola Nasional (KSN) di Malang (30-31 Maret 2010), yang direncanakan akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene sebagai pencetus agar diadakan pembahasan mengenai masalah itu.



"Moral boosting"



Dalam setiap pertandingan cabang apa pun, atlet selalu menyebut-nyebut adanya rasa percaya diri (confidence) dan dorongan moral (moral boosting) yang memengaruhi mereka dalam memenangi pertandingan.

Percaya diri dan moral adalah dua kata yang berkaitan dengan unsur jiwa, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, melainkan dengan mata batin, yang ada pada wajah pelatih, ofisial, organisasi dan manajemen.

Rasa percaya diri dan moral itu dapat tumbuh dari dalam diri (inward) si atlet atau pun melalui pasokan semangat dari luar (outward).

Ketika memompa semangat juang rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, "akukan revolusi olahraga demi mengharumkan nama bangsa. Olahraga adalah bagian dari revolusi multi kompleks bangsa ini".

Soekarno menjadikan olahraga sangat penting karena dianggap sebagai alat pembentukan karakter nasional. Presiden SBY kelihatannya bergetar dadanya ketika memegang Jules Rimet 25 Januari lalu, sehingga tercetus keheranannya kok sepak bola nasional begitu mundur, sehingga ia meminta diadakan serasehan (kongres) sepak bola.

SBY secara tidak langsung "memompa" rasa percaya diri dan "moral boosting", tidak saja pada atlet dan petinggi olahraga nasional, tetapi juga masyarakat Indonesia.

Kalau SBY berkehendak dan sudah faham tentang hakekat olahraga, maka bisa saja Indonesia didukungnya menjadi tuan rumah Piala Dunia, balap mobil Formula Satu dan yang lainnya, yang mengangkat kiprah negara di mata dunia.

Tokoh olahraga MF Siregar paling tahu tentang hal "jiwa" ini. Ia pernah mengucapkan hal paling ironi dewasa ini, karena tidak ada orang yang ingat dan merasa berkewajiban mewujudkan sepenggal kalimat dalam lagu Indonesia Raya...."Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya."



Nurdin Halid



Sementara itu, tidak ada satu pun orang yang tahu, apa yang ada dalam benak Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI saat ini.

Yang jelas, pada awal Kongres Sepakbola Nasional (KSN) digulirkan, ia bersama jajarannya mulai dari Jakarta hingga tingkat daerah tidak sepaham dengan niat itu, apalagi bila dihubungkan dengan pemakzulannya.

Nurdin amat keras dan ngotot dengan keinginannya untuk tidak akan mundur dari kursinya, walau pun permintaan dari berbagai kalangan menggebu-gebu agar ia meninggalkan posisinya yang terus digugat. Ia adalah contoh dan bukti teori kekuasaan atas manusia.

Nurdin mungkin hanya tertawa-tawa di rumahnya. Ia sudah membayangkan hasil KSN itu nantinya akan diserahkan kepada pemerintah (Kemenegpora) yang kemudian menjadi rekomendasi kepada kepengurusan PSSI.

Nurdin sepertinya sudah menyadari, kongres itu bukan soal ganti mengganti dirinya, melainkan untuk membicarakan sepakbola nasional secara keseluruhan, bukan membicarakan PSSI, tetapi sepakbola.

Nurdin faham, ia tidak dapat dimakzulkan karena adanya unsur (statuta) FIFA, namun Nurdin pun pasti tahu bahwa FIFA pernah mengancam membekukan Federasi Sepakbola Peru karena perseteruan federasi dengan pemerintah.

Demikian pula dengan federasi Ethiophia, federasi China ketika ketuanya dipecat karena skandal, serta membekukan Konfedeasi Sepakbola Kuwait.

Tudingan pun diarahkan ke Nurdin yang dianggap seperti tidak punya telinga dan hati. Ia tidak bereaksi dengan berbagai "serangan" di media serta melalui "talk-show" sampai ada yang menyebutnya mantan orang penjara yang tidak pantas memimpin PSSI.

Ia hanya tertawa, semakin hebat serangan ia merasa semakin kokoh kakinya. Ia memahami teori superlatif, semakin....semakin.....

SBY dengan spontan meminta PWI menjadi mediator kongres sepakbola ketika berada di Palembang membuka Hari Pers Nasional (HPN) dan dengan kerja keras panitia yang dikomandoi wartawan senior Sumohadi Marsis, akhirnya berbagai kalangan bertemu di Malang.

Kalau SBY tidak berbicara di Palembang, PWI tidak akan muncul ke depan dan "simpang-siur" berita PSSI pasti terus berkelanjutan dengan berbagai aroma tulisan wartawan yang aktif meliput di Senayan.

Kota Malang akan menjadi saksi bersejarah tentang "simpang jalan" sepakbola Indonesia dan mungkin ungkapan Bung Karno boleh diulangi, yaitu "Revolusi olahraga demi mengharumkan nama bangsa."

Kalau Ir Soeratin masih hidup, usianya sekarang 112 tahun, dan ia mungkin akan menerawang memandang jauh mengenang masa mudanya ketika mendirikan PSSI 80 tahun lalu dengan penuh semangat perjuangan.

Ia mungkin sudah susah mengutarakan pikirannya dalam kata-kata, tetapi batinnya akan bertanya, apakah arti atau masih adakah perjuangan saat ini?
(T.A008/A/a032/a032) 25-03-2010 15:45:39

No comments: